Friday, March 30, 2012

Artikel - Inilah Lima Keutamaan Hidup Jujur

Banyak orang mengajar kebahagiaan di balik kemegahan materi. Padahal, itu semua hanyalah kesemuan belaka. Kalau ingin bahagia jujurlah. Jujur kepada Allah sebagai hamba-Nya, jangan basa-basi dan jangan setengah-setengah. Jujur sebagai suami maka selalu menjauhi dosa dan memberikan nafkah secara halal dan maksimal. Jujur sebagai istri maka selalu menjaga kehormatan diri dan harta suami dan benar-benar menjadi tempat berteduh bagi suami. Jujur sebagai pemimpin maka selalu menjunjung tinggi asa musyawarah dan bekerja keras untuk menegakkan keadilan dan memastikan kesejahtraan rakyatnya.

Bila kejujuran seperti tersebut di atas terwujud, banyak hikmah yang akan dipetik. Pertama, jujur akan mengantarkan ke surga. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya kejujuran akan mengantarkan kepada kebaikan dan kebaikan akan mengantarkan ke surga … dan sungguh kebohongan akan mengatarkan kepada dosa, dan dosa akan mengantarkan kepada neraka .…” (HR Bukhari-Muslim).

Berdasarkan ini, jelas bahwa tidak mungkin kebaikan akan datang jika manusia yang berkumpul di dalamnya adalah para pembohong dan pendusta. Bila di tengah mereka menyebar kebohongan maka otomatis dosa akan semakin merajalela. Bila dosa merajalela maka jamainanya adalah neraka.

Kedua, jujur akan melahirkan ketenangan. Rasulullah SAW bersabda, “… maka sesungguhnya kejujuran adalah ketenangan dan kebohongan adalah keraguan .…” (HR Turmidzi). Orang yang selalu jujur akan selalu tenang, sebab ia selalu membawa kebenaran. Sebaliknya, para pembohong selalu membawa kebusukan dan kebusukan itu membawa kegelisahan akibat kebusukannya. Ia akan selalu dihantui dengan kebohongannya dan takut hal itu akan terbongkar. Dan, bila seorang pembohong seperti ini menjadi pemimpin maka ia tidak akan sempat mengurus rakyatnya, karena ia sibuk menyembunyikan kebusukan dalam dirinya.

Ketiga, jujur disukai semua manusia. Abu Sofyan pernah ditanya oleh Heraklius mengenai dakwah Rasulullah SAW. Abu Sofyan menjelaskan bahwa di antara dakwahnya adalah mengajak berbuat jujur. (HR Bukhari-Muslim).

Rasulullah SAW terkenal sebagai manusia yang paling jujur. Bahkan, sebelum kedatangan Islam, beliau sudah masyhur sebagai orang yang jujur. Orang-orang kafir Makkah pun mengakui kejujuran Rasulullah SAW, sekalipun mereka tidak beriman. Bahkan, mereka memberi gelar al-Amin (orang yang tepercaya) kepada Rasulullah. Selain itu, mereka juga selalu menitipkan barang berharga kepada Rasul SAW.

Keempat, jujur akan mengantarkan pelakunya pada derajat tertinggi. Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang memohon dengan jujur untuk mati syahid, (maka ketika ia wafat) ia akan tergolong syuhada sekalipun mati di atas kasurnya.” (HR Muslim).

Dan kelima, jujur akan mengantarkan pada keberkahan. Nabi Muhammad SAW pernah mengatakan bahwa seorang pembeli dan pedagang yang jujur dalam melakukan transaksi perdagangannya maka ia akan diberkahi oleh Allah. Sebaliknya, jika menipu maka Allah akan mencabut keberkahan dagangannya. (HR Bukhari Muslim). Wallahu a’lam.

Oleh: Dr Amir Faishol Fath

rep. republika.co.id/moslembrothers.com

Artikel - Pemimpin yang Mengikuti Jejak Rasulullah SAW

Sosok pemimpin sejati senang dengan tantangan (challenge). Hal ini diungkapkan Toto Tasmara dalam bukunya “Spiritual Centered Leadership”. Namun tantangan itu sudah semestinya dihadapi bahkan merupakan proses pendakian dari seorang anak manusia dalam mengarungi kehidupan sebagai khalifah fil ardhi, sebagaimana firman Allah SWT “..tidaklah Ku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku”.
Tantangan kehidupan itu memerlukan perjuangan jika kita berkeinginan menuai sukses serta hasil yang baik. Dan perjuangan itu pun dianjurkan sebagaimana sabda Rasulullah SAW “Carilah duniamu seakan-akan hidup selama-lamanya dan tuntutlah akhiratmu seolah-olah akan wafat besok”. Oleh karena itu, jelaslah bahwa kita dalam mengarungi kehidupan ini seyogyanya bekerja keras dengan dilandasi semangat yang menggelora pada diri pribadi-pribadi Muslim guna meraih kebahagian baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Karena manusia terlahir sebagai khalifah fil ardh tentunya dalam setiap gerak serta langkahnya agar berorientasi pada pengabdian kepada Allah SWT semata. Terlebih-lebih bahwa sosok manusia dilahirkan kemuka bumi ini sebagai pimpinan. Rosulullah saw pernah bertutur bahwa “setiap orang adalah pemimpin dan kelak akan dimintakan pertanggung jawabannya berkaitan dengan kepemimpinannya”.
Dari ungkapan itu, seperti apa gaya seorang pemimpin yang mengikuti jejak Rosulullah SAW? yang jelas ada sejumlah panduan yang menjadi sandaran kita yakni Alquran dan mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW. Kedua pijakan ini adalah sebuah keharusan bagi umat Islam. Karena Akhlak Rasul adalah Alquran. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda “Aku tinggalkan di antara kalian dua perkara, yang kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya: Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya”.
Sunnah Nabi itu agar dipahami sebagai keseluruhan kepribadian dan Akhlak Nabi, yang secara jelas dan tegas dipaparkan dalam Alquran. Rasulullah SAW adalah sebagai teladan (uswah hasanah) bagi kita semua. Oleh karena itu yang mengikuti sunnah Nabi berarti mencontoh akhlak mulia Nabi, yang dimanifestasikan dalam sifat-sifat Rasulullah SAW, Siddiq, Tablig, Amanah dan Fathonah.
Sifat-sifat Rasulullah ini sangat relevan untuk diimplementasikan pada setiap jenjang pemimpin di semua level dimana kita berada. Model kepemimpinan Rasulullah SAW yang mengutamakan nilai-nilai akhlak mulia (Akhlakul Karimah) pada setiap pergaulan dalam kehidupan bermasyrakat, berbangsa, dan bernegara.
Jika kita lihat hiruk-pikuknya kehidupan di tengah arus globalisasi yang kadangkala mengesampingkan nilai-nilai etika/moral serta dapat juga menjerat umat manusia untuk lebih mementingkan kepentingan pribadinya masing-masing tanpa memperdulikan kehidupan sesamanya.

Bahkan ketika Rasulullah SAW ditanya oleh salah seorang sahabat, ''Apa yang harus kita kerjakan dalam hidup ini?'' Beliau menjawab muamalah atau hubungan antarmanusia. Mengapa hal menjadi diprioritaskan oleh Rasulullah SAW, karena hakikat hubungan antarmanusia adalah kunci utama dalam hidup.
Allah SWT tidak akan mengampuni kesalahan hambanya, jika seorang hamba itu tidak bisa memaafkan kesalahan sesamanya. Ini artinya jalinan hubungan antarmanusia (Hablumminanas) memiliki urgensi yang utama serta vital dihadapan-Nya. Sehingga apabila seseorang hamba akan melakukan hubungan dengan Allah SWT (Hablumminallah), alangkah baiknya dibenahi sejak awal hubungan antarmanusianya. Oleh karena itu meneladani budi pekerti Nabi Muhammad SAW, adalah menjadi bagian terpenting terutama para pemimpin negeri ini.

rep. republika.co.id/moslembrothers.com

Tuesday, March 27, 2012

Artikel - Hidup Bahagia dalam Duka, Mungkinkah?

Adakah manusia yang bisa bahagia dengan duka? Rasanya tidak mungkin ada manusia yang mau menjadikan duka sebagai suatu kebahagiaan dalam hidupnya. Itulah mengapa banyak orang yang kini rela melakukan kejahatan hanya karena agar dia tidak kehilangan pekerjaan, jabatan, ataupun kehormatan.

Hampir setiap orang menolak yang namanya duka dan berusaha sekuat tenaga untuk hidup bahagia. Akibatnya, tidak sedikit di antara mereka yang bersikap pragmatis, egois, individualis, dan hedonis. Bahkan, mereka mau melakukan apa saja yang penting dia tidak miskin, tidak dikucilkan dan tidak dihukum.
Walaupun kadangkala hatinya menjerit karena letupan-letupan kesadaran yang terkadang muncul akan perilakunya yang telah melanggar aturan Tuhan, mereka tetap saja lebih memilih menjauh dari duka demi hidup bahagia. Ingkar janji, dusta, dan khianat dipaksa menjadi karakter dalam dirinya demi untuk menghindari duka.

Apalagi di zaman sekarang yang himpitan ekonomi begitu berat, kejujuran sudah dianggap bukan masanya lagi, dan korupsi diyakini wajar, sehingga menjadikan sebagian besar umat manusia makin berani menggadaikan imannya. Padahal, kalau dicermati, duka yang mereka hindari dengan cara curang itu, sejatinya adalah jalan tol menuju duka nestapa yang tiada tara.

Duka di dunia hanyalah sementara sebagaimana senang di dunia juga tidak selamanya. Sementara pembalasan Tuhan pasti adanya. Seorang Muslim wajib untuk hidup dengan tidak melanggar aturan Tuhan. Sekalipun terkadang untuk hidup seperti itu harus banyak melakukan pengorbanan, merasakan penderitaan, kesengsaraan, dan duka nestapa yang mendalam.

Tetapi, itulah mahar yang harus kita berikan untuk bisa mendapat kebahagiaan abadi di dalam surga. Apabila kita telah memahami hal ini, insya Allah kita akan bisa menjalani hidup ini tetap bahagia meskipun harus bersahabat dengan duka. Duka sejatinya adalah mahar untuk bahagia.

Hal itulah yang dilakukan oleh Nabi Yusuf AS. Sejak kecil dia hidup tidak dalam kebahagiaan. Dia menjadi anak Nabi Ya’kub yang dibenci oleh saudara-saudaranya dia pun harus rela dilempar ke dalam sumur. Kemudian, dia hidup sebatang kara di negeri orang dengan status sebagai budak belian.

Tak cukup di situ, Nabi Yusuf juga difitnah, hingga harus mendekam dalam penjara. Tetapi, semua itu dilalui dengan nuansa hati yang tetap bersih dari kotoran nafsu. Kebersihan hatinya membuatnya rela di penjara.

“Yusuf berkata, ‘Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh’." (QS Yusuf : 33).

Demikianlah sikap Nabi Yusuf terhadap duka dalam hidupnya. Setiap fase ujian, dilaluinya dengan penuh kesabaran dan harapan akan pertolongan Allah SWT. Hingga ia diangkat derajatnya oleh Allah SWT dengan menjadi pengelola ekonomi di Mesir.

Oleh: Dr Abdul Mannan

Monday, March 26, 2012

Artikel - Waspadai “Jebakan” Waktu Luang!

“SANTAI dulu ah, “ begitu biasanya orang jika ingin rehat sejenak dari aktivitasnya. Sebagaimana dimaklumi bersama, bersantai-santai menjadi kesenangan manusia. Orang senang menggunakan waktu luang-nya untuk rileks, ngobrol, bercanda, gurau, dan berkongkow-kongkow. Sebatas kewajaran untuk menghilangan rasa lelah tentu masih bisa dimaklumi. Tapi bila sudah menjadi adat kebiasaan, ini yang dilarang.

Kadang tanpa terasa, waktu seharian dihabiskan untuk berbicara ngalor-ngidul yang tidak jelas arah tujuannya. Terkadang bersenda-gurau, bermain-main sambil nongkrong di pinggir-pinggir jalan, di teras rumah, di kedai-kedai atau sekadar berputar-putar kota dan keluar masuk pertokoan, mall dan supermarket-supermarket, dan sebagainya. Tidak sedikit yang tidak mengerti mengapa kakinya melangkah, untuk apa dan mau ke mana, yang penting ke luar dan jalan, itu saja.

Kelalaian terhadap eksistensi hiduplah yang sering membuat manusia melakukan tindakan tanpa didasari tujuan yang jelas. Semuanya berjalan alamiah, asal gerak, asal jalan dan yang penting memperoleh kesenangan. Kesenangan yang bagaimana? Kesenangan yang tidak jelas dan cenderung fatamorgana.

Padahal waktu adalah persoalan yang sangat essensial. Dalam kehidupan kita, ia memegang peranan yang sangat penting. Kita tidak boleh bermain-main dengan waktu. Orang bijak berkata, “Waktu bagai pedang yang tidak boleh sembarang dipermainkan.” Itu sama sekali bukan berarti setiap hari kita harus tegang dan pasang urat kencang selalu. Hanya kita disuruh ekstra waspada dan berhati-hati di dalam memanfaatkannya.

Betapa banyak tindak kejahatan yang terjadi justru karena kesalahan manusia memanfaatkan waktu luang. Mereka menjadi tergelincir ke lembah kejahatan, karena hilangnya kendali diri akibat salah pakai tehadap waktu luang tersebut.

Mula-mula sekadar keliling-keliling, tanpa terasa digiring oleh syetan ke tempat maksiat. Awalnya sekadar ngobrol yang tidak jelas ujung pangkalnya, lama-lama muncul niat untuk melakukan kejahatan, atau paling tidak, bergunjing dan membicarakan kejelekan orang lain, hingga memfitnah.

Pada mulanya coba-coba daripada nganggur, mengisi waktu luang menggoda orang lewat, selanjutnya justru menjadi ketagihan. Ada rasa sepi bila laku maksiat itu tidak dilaksanakan. Lebih parah lagi kalau malah merintis jalan menjadi agen maksiat. Na’udzubillahi min dzaalik.

Itu semua terjadi karena adanya waktu luang yang tidak disiasati dengan baik, hingga mengundang malapetaka. Salah mempergunakan waktu luang, dapat menyeret manusia ke dalam perbuatan-perbuatan jahat seperti itu.

Terpedaya Nikmat

Rasulullah adalah tauladan bagi umat Islam sedunia. Beliau memberi contoh kepada umatnya dalam memanfaatkan waktu hidupanya. Nabi tidak terlalu banyak tidur, karena di malam hari selalu bangun qiyamul lail hingga kakinya bengkak. Siang hari beliau menjadi pedagang, pendakwah dan kepala pemerintahan yang sangat handal. Dalam waktu 23 tahun, beliau mampu membangun peradaban Islam. Beliau mengikuti 80 peperangan bersama para sahabatnya dalam waktu kurang dari 10 tahun.

Rasulullah pernah bersabda agar kita berhati-hati menghadapi kenikmatan. "Ada dua kenikmatan yang membuat banyak orang teperdaya yakni nikmat sehat dan waktu senggang (artinya, saat-saat sehat dan waktu senggang orang sering mempergunakannya untuk melakukan perbuatan yang terlarang)." (HR al-Bukhari)

Dalam al-Quran yang paling dihapal anak-anak kita, dijelaskan mendalam makna memanfaatkan waktu.

وَالْعَصْرِ

إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْر

إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْ


"Demi waktu. Sesungguhnya manusia itu berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih dan orang-orang yang senantiasa ingat-mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran." (QS al-'Ashr: 1-3)

Melihat ayat tersebut, sungguh semua manusia itu berada dalam kerugian. Tidak ada seorangpun yang terbebas dari perkara rugi ini. Termasuk yang bila ditinjau dari segi fisik- ekonomi maju, karier berada pada posisi puncak, nama juga disebut-orang di mana-mana (melambung-lambung), kesenangan dan kebahagiaan juga telah terpenuhi. Mengapa mereka dikatagorikan sebagai orang rugi, padahal tidak miskin tidak papa?

Ada perangkat lain yang menjadi penilaian Allah. Berimankah dia? Setelah beriman adakah ia menindaklanjutinya dengan amal shalih?

Jadi kunci utamanya itu terletak pada iman dan amal shalih. Inilah yang menjadi perkecualian di antara semua yang rugi itu. Mengapa? Apabila ia beriman tentu kekayaannya tidak semata untuk memenuhi kebutuhan perut sendiri, keluarga dan sanak saudara. Apalagi di saat kondisi yang serba sulit seperti sekarang ini. Begitu banyak perut kaum muslimin yang kosong tak terisi nasi. Mereka menunggu bantuan uluran tangan dari saudara sesama kaum muslimin yang lain, yang bernasib lebih baik dari mereka.

Bila ada kekuasaan dan jabatan tidak sekadar untuk mempermudah urusan dirinya sendiri saja, untuk berenak-enak dan bersenang-senang sendiri. Ia tidak akan berhenti pada titik itu sebagai titik final. Tapi ia akan menindaklanjuti dan mempergunakan segala apa yang telah dimilikinya untuk membuktikan keimanannya. Bukan malah sebaliknya justru untuk memperbanyak maksiat, meramaikan kemunkaran dan memakmurkan kejahatan. Kelompok inilah yang dikatakan kekayaannya merugikan, jabatannya menyesatkan dan nama baiknya hanya menjadi racun bagi agama. Orang sering berlindung di belakangnya untuk membentengi kemunkaran. Sungguh tidak ada derajat yang pantas bagi mereka selain disebut sebagai orang yang rugi.

Adalah Abu Hurairah. Ia memeluk Islam di usia 60 tahun. Namun ketika meninggal beliau mampu meriwayatkan 5374 hadits. Anas bin Malik, seorang pelayan Rasulullah sejak usia 10 tahun. Selama bersama Nabi (20 tahun) beliau mampu meriwayatkan 2286 hadits. Juga Abul Hasan bin Abi Jaradah (548 H), sepanjang hidupnya beliau mampu menulis kitab-kitab penting sebanyak tiga lemari. Syeikh Ali At-Thantawi, mampu membaca 100-200 halaman setiap hari. Berarti dengan usianya yang 70 tahun, beliau sudah membaca 5.040.000 halaman buku. Subhanallah, bagaimana dengan kita?

Harga iman

Waktu yang luang semestinya merupakan kesempatan untuk menunjukkan harga dari keimanannya. Cara untuk menunjukkan harga keimanan itu tidak lain adalah dengan beramal shalih. Amal shalih merupakan puncak nilai manusia di hadapan Allah. Bila segala puncak sudah diperoleh akan tetapi amal shalihnya kosong, maka perlu ditengok ulang keimanannya. Apakah benar keimanannya itu ada atau cuma sekadar ucapan yang menghibur-hibur diri.

Mari kita mengoreksi diri selagi masih hidup. Tidak keliru menengok ulang perbuatan pribadi yang sebenarnya akan menguntungkan bagi diri sendiri juga. Mari kita pertanyakan pada diri kita, adakah nikmat sehat itu telah kita pergunakan sebaik-baiknya untuk memperbanyak amal shalih? Seberapa waktu kita untuk kita gunakan untuk agama ini?

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini diperlukan sebagai sikap muhasabah. Agar kita tidak melenceng pada tindakan-tindakan yang terlarang.

Untuk kemuliaan Islam, sebagian besar terkadang hanya meluangkan sisa-saia tenaga dan waktu. “Coba saya tak cari waktu senggang saya dulu ya,” demikian ucapan yang sering kita sampaikan jika ada teman mengajak aktif ke masjid, ikut pengajian atau untuk memikirkan mushollah/masjid/yayasan yang berurusan dengan agama dan kebaikan. Kita juga pelit dalam beramal shalih, padahal ribuaan kenikmatan telah diberikan Allah kepada kita.

Nabi pernah bersabda, "Yang pertama kali ditanyakan dari kenikmatan-kenikmatan Allah kelak pada hari kiamat ialah ucapan, 'Bukankah telah kami berikan kesehatan pada tubuhmu dan Kami berikan air minum yang sejuk?.'" (HR at-Tirmidzi)

Maju atau Mundur

Waktu luang pada dasarnya adalah kesempatan yang berharga. Ia banyak membuka peluang untuk maju atau mundur. Dengannya manusia dapat rusak atau baik. Allah berfirman kepada kita,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

"Wahai orang-orang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah. Dan perhatikanlah waktu yang telah engkau lewati untuk bekal mengarungi kehidupan waktu mendatang." (QS al-Hasyr: 18)

Waktu mempunyai kedudukan penting dalam berjalannya aktivitas di alam semesta ini. Islam memiliki konsep yang jelas tentang waktu. Di antara beberapa konsep makna waktu dalam Islam adalah ajal. Sesuai terminologi, ajal berarti penetapan batas waktu. Dalam al-Qur’an, kata ajal mempunyai kecenderungan pada penetapan akan batas sesuatu (Yunus [10]:49:

لِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ إِذَا جَاء أَجَلُهُمْ فَلاَ يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُونَ

“Tiap-tiap umat mempunyai ajal. Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukannya.”

Seorang alim mengatakan, waktu kita adalah umur kita. Sementara yang kita saksikan, manusia menggunakan umurnya dengan sesuatu yang aneh dan sia-sia. [baca juga; Waktumu Adalah Umurmu!]

Mari kita renungi kembali hari-hari dan waktu-waktu yang telah kita habiskan selama ini, dengan harapan agar bisa memanfaatkan waktu yang telah diberikan Allah kepada kita. Jangan sampai ketika baru menyesal tatkala nafas sudah di tenggorokan, di mana kala itu ajal sudah tak bisa dimajukan atau dimundurkan barang semenit-pun. Na’udzubillahi min dzaalik.*

Ilustrasi kehidupan dugem

rep. Hidayatullah.com / Moslembrothers.com

Article - We are Muslims. Who are we?

Imam Tammam Adi Ph.D, Director of the Islamic Cultural Center, Eugene, Oregon explains basic Islamic beliefs and history for a non-Muslim audience.

Beliefs. We are known as one of the three great Abrahamic faiths. Like Judaism and Christianity, our religion was founded by a descendant of Abraham. We believe in Moses and Jesus, the Torah and Gospel. We believe in the Ten Commandments.

We believe in angels, in heaven and hell and the Day of Judgment, in the return of Jesus, in the books and messengers of God, and in predestination and free will.

Some people think we have a different God because we use the Arabic language name for God, “Allah.” Whether we are Christians, Jews or Muslims, we all pray to the same God.

To those of you who are Hindu, Buddhist, or any other faith, we share your love of God and all humanity. We believe God sent a messenger to every nation with the same message: Believe in one God and be fair to each other.

We are taught that Islam is just the final brick in the house that God has built through his other prophets.

One becomes a Muslim by declaring there is only one God (thus, no one should play God) and Mohammed is his messenger.

Duties. We pray 5 times a day, pay a tax to help the needy, fast during the month of Ramadan, and make a pilgrimage to Mecca if we are able.

Beginnings. In the year 610 C.E., the angel Gabriel appeared to a descendant of Abraham and Hagar. His name was Mohammed, a contemplative and respected citizen of the trading metropolis of Mecca.

Mohammed could not read or write, but he listened carefully, and the messages from God, brought by the angel, were written down by others during the next 23 years of his life and later put together in a book called the Koran, in Arabic “The Reading.”

The religion was called Islam, which, in Arabic means “submission to God, peace, safety, purity.” Followers were called Muslims. Both word were derived from the stem “salam.”

The Islamic empire spread rapidly throughout the Middle East, all of North Africa, parts of Europe, Persia and as far as China. Those supporting freedom of speech and religion (such as India) joined the empire by treaties. Islamic teachings were later voluntarily accepted by many because they were simple and supportive of diverse culture and science.

Muslims led a Golden Age of local rule and pluralism supporting science and culture in Baghdad, Cairo, Jerusalem, Damascus, and Spain for hundreds of years. Christians, Jews, Zoroastrians and Hindus lived together in peace.

The Crusades. This holy war was stirred up in Europe and continued off and on for centuries. It was sparked when the Islamic rulers of Jerusalem attacked churches, prevented pilgrimage and persecuted Christians. The Church of Rome spread the idea that Muslims were infidels—godless. Muslims had violated the most fundamental Islamic principle of protection of religious freedom.

And when Muslims started attacking churches in Spain, a brutal Inquisition destroyed the multicultural civilization there that had lasted for 8 centuries. Similarly, intolerant Baghdad was destroyed by Mongol invaders and the Ottoman Empire was carved up into artificial states after WWI.

Dictatorships followed and continue until the present day throughout the Islamic world, sometimes supported by outside influence. Internal democracy movements are crushed.

Many Muslims do not understand their religion well anymore. In unfree societies, one is not taught to think, only to hear and obey.

Still, suicide bombings are condemned by all Muslims. The vast majority believe that political grievances should be resolved with demonstrations and fair fights which do not harm the innocent. Muslims see terror as sabotage of their just causes.

Terrorists work for political ends. Muslims do not know who they are. They do not hang out in mosques and mix with us.

Even Muslims who are very angry at America abhor terror and cannot be recruited into it.

src: islamfortoday.com

Part 1. The Methodology of Da'wah (Inviting to Islam) - Sh. Abdur Raheem McCarthy

To Download mp3 is CLICK HERE

Artikel - Mendengar Pangkal Selamat, Abai Pangkal Celaka

“DEMI Allah andaikan dia berdiri sampai malam, maka aku tidak akan meninggalkannya kecuali untuk shalat.” Begitulah komitmen Umar Radhiyallahu ‘anhu untuk setia mendengarkan taushiah (nasehat) wanita renta di pinggir jalan. Padahal ketika itu Umar adalah seorang khalifah.

Kisah itu berawal ketika Umar keluar masjid bersama al-Jarud al-‘Abdi dan yang lain. Tiba-tiba ada wanita tua di jalan. Umar kemudian mengucapkan salam kepadanya. Wanita itu pun menjawab salamnya.

Dalam riwayat al-Darimi diterangkan bahwa wanita itu kemudian meminta Umar untuk berhenti. Umar pun mendekat dan menundukkan kepalanya demi mendengarkan wanita tersebut berbicara.

Selanjutnya wanita itu memberi wejangan, ”Bertakwalah engkau kepada Allah dalam mengurus rakyat. Ketahuilah, barangsiapa yang takut akan ancaman Allah maka yang jauh (hari akhirat) akan terasa dekat. Barang siapa yang takut akan kematian, maka ia akan khawatir kehilangan kesempatan.”

Para sahabat yang berdiri bersama Umar kemudian bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, engkau telah menghentikan sekian banyak orang (ikut berhenti karena tidak mau mendahului umara) demi wanita renta ini?”

Umar menjawab, ”Tahukah kalian siapa dia? Dia ini adalah wanita yang didengarkan aduannya oleh Allah Ta’ala di atas tujuh lapis langit. Dia adalah Khaulah binti Tsa’labah…,” hingga Umar mengucapkan kalimat pertama tadi. (Ibn ‘Abd al-Bar, al-Isti’ab fi Ma’rifat al-Ashab,II/ 91)

Siapa pun yang mengetahui kisah ini akan semakin kagum kepada Umar. Ia rela menghentikan langkahnya, lalu mendengar dengan seksama petuah wanita itu meski dalam waktu lama. Ini adalah teladan luar biasa yang tidak banyak dilakukan manusia, apalagi orang yang merasa telah menempati posisi terhormat di masyarakat.

Anggapan umum menyatakan bahwa berbicara adalah kehormatan dan mendengar adalah kehinaan, setidaknya di hadapan pembicara tadi. Padahal yang benar bukanlah demikian.

Sikap sabar dalam mendengar seperti itu semestinya menjadi akhlak setiap pribadi yang mengaku umat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Pribadi yang mengidam-idamkan ukhuwah dalam iman, kesatuan, kekuatan, kedamaian, hilangnya permusuhan, dan tegaknya peradaban Islam yang agung, otomatis akan mencontoh sikap mulia tersebut.

Mengapa penting sekali membangun sikap tersebut dalam diri kita? Berikut ini alasan mendasarnya.

1. Manusia sejati harus mau mendengar dengan seksama

Rumus ini bukanlah kesimpulan manusia, tetapi kesimpulan Sang Pencipta manusia. Jika demikian, rumusan ini pasti benar, tanpa boleh diragukan.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيراً مِّنَ الْجِنِّ وَالإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَّ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَّ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لاَّ يَسْمَعُونَ بِهَا أُوْلَـئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Al-A’raf [7]: 179)

Pada ayat ini dengan jelas Allah Ta’ala memberikan syarat untuk menjadi manusia yang sesungguhnya, yakni mutlak harus menjalankan tiga fungsi tersebut yang salah satunya adalah pendengaran.

2. Manusia yang baik diukur dari kemauannya mendengar

Satu-satunya rumus untuk menjadi manusia yang baik adalah menaati petunjuk Sang Pencipta yang terangkum dalam wahyu-Nya. Dalam rangka itu mesti ada proses penerimaan informasi mengenai tuntunan tersebut. Tersumbatnya informasi berakibat fatal. Manusia bisa gagal menjadi baik.

Jadi, Allah Yang Maha Bijaksana tidak mungkin menutup pintu informasi tersebut bagi hamba-Nya. Inilah yang diterangkan Allah Ta’ala dalam al-Qur`an:

إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِندَ اللّهِ الصُّمُّ الْبُكْمُ الَّذِينَ لاَ يَعْقِلُونَ
وَلَوْ عَلِمَ اللّهُ فِيهِمْ خَيْراً لَّأسْمَعَهُمْ وَلَوْ أَسْمَعَهُمْ لَتَوَلَّواْ وَّهُم مُّعْرِضُونَ

“Sesungguhnya mahluk bergerak yang bernyawa yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah; orang-orang yang tuli dan bisu yang tidak mengerti apa-apapun. Kalau sekiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar.” (Al-Anfal [8]: 22-23)

3. Hamba Allah pasti mau mendengar setiap ucapan baik.

Yang paling tahu tentang ciri hamba Allah Ta’ala tidak lain adalah Allah Ta’ala sendiri. Setiap pribadi yang menginginkan diri menjadi hamba Zat Yang Maha Baik, ambisi utamanya adalah mengoleksi seluruh kebaikan tanpa mau melewatkannya.

Setiap informasi mengenai peluang kebaikan, baginya adalah temuan paling berharga. Tidak mengherankan bila Allah Ta’ala menyebutkan bahwa sikap ambisius untuk berburu kebaikan dengan menyeleksi secara seksama setiap ucapan adalah ciri pertama kepribadian para hamba-Nya.

4. Manusia berakal pasti lebih banyak mendengar dari pada bicara.

Satu ciri khas orang yang berakal dinyatakan dengan jelas pada akhir ayat 18 surat Al-Zumar [39], yaitu lebih banyak mendengar. Tidak ada satu ayat atau Hadis pun yang menerangkan bahwa ciri manusia berakal adalah banyak bicara.

Orang yang berakal lebih banyak diam, merenung, dan berkonsentrasi mengerahkan kekuatan berpikirnya untuk menggali berbagai mutiara hikmah.

Teladan terbaik dalam hal ini tidak lain adalah Rasulullah sendiri. Jabir bin Samurah mensifati Nabi dengan mengatakan, ”Nabi lebih banyak diam dan sedikit tertawa,” (Riwayat Ahmad). Maka pantaslah bila Allah Ta’ala memberinya keistimewaan berupa jawami’ al-kalim (kata-kata singkat tapi padat makna).

5. Mendengar adalah penghormatan besar kepada pembicara

Inilah akhlak agung yang berujung kepada tumbuhnya rasa persaudaraan, kasih sayang, dan saling menghormati. Bahkan mampu meringankan beban psikologis orang-orang yang terserang depresi, dan terkadang menghilangkannya sama sekali.

Begitu banyak alasan mengapa seorang mukmin harus aktif dan seksama mendengar. Sebaliknya, tak kurang cela bila manusia mengabaikan sikap mulia tersebut.

Kisah karamnya kapal pesiar mewah Titanic pada 14 April 1912 tidak lain bermula dari pengabaian sang kapten, Edward J. Smith untuk mendengar peringatan Frederick Fleet, petugas menara pengintai saat melihat gunung es.

6. Ciri utama orang tercela adalah tuli alias tidak mau mendengar.

Allah Ta’ala, dalam al-Qur`an surat Al-Baqarah [2] ayat 171, mengumpamakan orang-orang yang menyeru kepada orang-orang kafir seperti penggembala yang memanggil binatang ternak. Binatang-binatang itu tak akan mendengar selain seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta. Mereka sama sekali tidak mengerti.

Allah Ta’ala juga memberi sifat kepada orang-orang yang mendustakan ayat-ayat-Nya, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur`an surat al-An’am [6] ayat 39, laksana orang yang pekak, bisu, dan berada dalam gelap gulita.

Adapun orang-orang munafik, kata Allah Ta’ala dalam Surat al-Baqarah [2] ayat 17-18, seperti orang-orang yang tuli, bisu dan buta. Mereka tidak akan kembali ke jalan yang benar.Wallahu a’lam bish-shawab.*

rep. hidayatullah.com/moslembrothers.com

Artikel - Sembilan Hal yang Membuat Setan Pesta Pora

Assalaamu alaikum warahmatullaahi wabarkatuhu.
Sahabatku, Imam Ghazali mengajak kita untuk mengenali sembilan keadaan umat manusia yang membuat syetan "pesta pora" karena keberhasilan menggoda manusia

  1. Terjadinya perceraian rumah tangga. Iblis sebagai pimpinan para syetan selalu memuji semua keberhasilan para syetan, tetapi Iblis akan membanggakan kelompok syetan yang berhasil menceraikan suami istri, "...syetan menggoda untuk menceraikan suami dengan istrinya (QS 2:102)
  2. Durhaka pada orang tua
  3. Perkelahian sampai membunuh atau terbunuh
  4. Pecandu khamar -Narkoba (QS 5:90)
  5. Tenggelam dalam dosa zina, terus menerus berzina
  6. Ketagihan duit haram, seperti penipu, koruptor, perampok, rentenir dan sebagainya
  7. "Attakabburru bil hasadi wal intiqoomi" Angkuh dibarengi dengan sifat dengki, pemarah dan dendam kusumat (QS 31:18)
  8. Menjadi dukun dan pengikut setia dukun
  9. Puncak kegembiraan syetan, manusia mati dalam keadaan ma'siyat sampai mati kafir kepada Allah, "Sesungguhnya orang-orag kafir, dan mereka mati dalam keadaan kafir, mereka dilaknat Allah, para Malaikat dan manusia seluruhnya" (QS 2:161).

"Ya Allah lindungi kami dari nafsu ma'siyat dan godaan syetan yang terkutuk...aamiin".

Ustad. Arifin Ilham

Artikel - Inilah Orang-orang yang Dihinakan Allah

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT bila mencintai hamba-Nya memanggil Jibril seraya berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mencintai si fulan, maka cintailah dia.’” Rasulullah bersabda, “Maka, Jibril pun mencintai si fulan.” Lalu, Jibril menyeru semua penduduk langit, “Sesungguhnya Allah mencintai si fulan.” Nabi bersabda, “Maka, si fulan dicintai penduduk langit dan dia pun diterima oleh penduduk bumi.”

Jika Allah membenci seorang hamba, Dia memanggil Jibril dan berfirman, “Sesungguhnya Aku membenci si fulan, maka bencilah dia sehingga Jibril pun membencinya.” Rasulullah bersabda, “Lalu, Jibril menyeru penduduk langit, ‘Sesungguhnya Allah membenci si fulan, maka bencilah dia.’” Penduduk langit pun membenci si fulan, kemudian dia pun dibenci penduduk bumi. (HR Bukhari dan Muslim).

Orang yang sengsara adalah yang dihinakan Allah sehingga penduduk bumi pun akan membicarakan orang tersebut dengan kejelekan dan cercaan. “Dan barang siapa yang dihinakan Allah, maka tidak seorang pun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS al-Hajj 18).

Rasulullah SAW sering berdoa agar tidak dihinakan Allah, “Ya Allah berilah tambahan kebaikan dan jangan Engkau kurangi, muliakan kami, dan jangan Engkau hinakan. Berilah anugerah kepada kami dan jangan kaucegah. Prioritaskan kami dan jangan ditinggalkan. Ridailah kami dan berikan keridaan kepada kami.” (HR Achmad dan Turmudzi).

Di antara bentuk kehinaan yang ditimpakan Allah di dunia adalah kehinaan hidup, ditimpakan kekalahan dalam persaingan, dan disesatkan dari jalan Allah. Sedangkan, kehinaan pada hari kiamat adalah ditutup matanya dari melihat Allah (QS Hud 105-107/al-Muthaffifiin 14-17).

Di antara orang-orang yang dihinakan, pertama, pelaku kemaksiatan (QS Ghofir 82). Al- Mu’tamir bin Sulaiman berkata, “Sesungguhnya seseorang yang melakukan dosa secara rahasia, maka pada pagi harinya akan ditimpakan kehinaan.” (Raudlatul Muhibbin, karya Ibnul Qoyyim, hlm 441).

Kedua, orang yang menentang ajaran Islam (QS az-Zumar 55-61 dan al-An’am 125). Umar RA berkata, “Kita dimuliakan Allah dengan Islam dan barang siapa yang mencari kemuliaan dengan selain Islam, maka dia akan dihinakan.” (Ibnu Abdil Birr dalam kitab Al-Mujalasah wa Jawahiril Ilmi, juz II, hlm 273).

Ketiga, menolak kebenaran karena kesombongan (QS Shad 12-15, al-Haqqah 4-8). Hasan Bisri mengatakan, ada tiga macam manusia, yakni mukmin, munafik, dan kafir. Mukmin adalah orang yang menaati perintah Allah, kafir adalah yang dihinakan Allah, dan munafik adalah mereka yang tidak mengenal Allah, tapi dikenal keingkarannya dengan perbuatan-perbuatan jahat dan menampakkan kejauhan dirinya dari Allah (Al-Firyabi dalam kitab Shifatul Munafiq, hlm 61).

Keempat, sombong di hadapan makhluk (QS al-Qashash 83). Kelima, orang zalim (QS al-A’raf 165-166 , Yunus 13-14). Keenam, penghamba harta dan kedudukan (QS al-An’am 44). Rasulullah bersabda, “Celakalah penghamba dinar dan dirham.” (HR Bukhari).


Oleh: Prof Dr Achmad Satori Ismail

rep. republika.co.id/moslembrothers.com

Sunday, March 25, 2012

KH Musthofa Bisri (Gus Mus) Maulid Nabi Muhammad SAW


Silahkan download mp3 nya cukup KLIK DISINI

KH Musthofa Bisri (Gus Mus) Rembang -- Ponpes Al-Muayyad Solo


Silahkan download mp3 nya cukup KLIK DISINI

Friday, March 23, 2012

Ustaz Ahmad Dahri - Sakaratul Maut

Silahkan download mp3 nya cukup KLIK DISINI

Syaikh Ahmad Yasin - Si Yatim Penggores Sejarah

Ahmad Yasin adalah simbol perjuangan rakyat palestina. Ia lahir tahun 1938 di Jurah Asqelan, di pinggiran kota Majdal, sebelah selatan Gaza. Ayahnya wafat saat Ia berusia lima tahun.

Sejak kecil, Yasin hidup dalam suasana peperangan. Kondisi inilah yang membuatnya mengungsi ke Jalur Gaza menghindari serangan tentara Israel. Di usia 14 tahun, Yasin mengalami kecelakaan saat berolahraga. Kakinya retak dan mengakibatkan kelumpuhan. Ia terpaksa harus menggunakan kursi roda untuk menunjang aktivitasnya.

Mujahid ini banyak mengusung ide dan pemikiran kelompok Ikhwanul Muslimin yang didirikan di Mesir pada tahun 1928. Ia juga mendirikan al-Majma' al-Islami dan menjadi ketuanya hingga tahun 1984.

Perjuangan Yasin berakhir dengan peristiwa peledakan rudal yang dilakukan israel ketika ia sedang menuju mobilnya. Yasin syahid pada usia 65 tahun, saat keluar dari Masjid al-Mujamma'ul Islami yang berada di daerah Shabra di Jalur Gaza usai menunaikian Sholat Subuh pada tanggal 22 maret 2004.

Ibnu Al-Jauzi - Si Yatim Penggores Sejarah

Al-Jauzi merupakan ulama asal Iraq yang produktif. Sepanjang hayatnya Ia menulis sekitar 200 kitab. Ia dilahirkan di Darb Habib, Baghdad tahun 528 H. Keluarganya terkenal sebagai pedagang tembaga. Hingga al-Jauzi sempat mendapat julukan Abdurrahman bin 'Ali al-Jauzi as-Shaffar.

Ayahnya, 'Ali bin Muhammad, wafat saat al-Jauzi berusia tiga tahun. Meski ditinggal ayahnya, al-Jauzi dapat hidup layak. Ia diasuh bibinya dengan sepenuh kasih. Sejak usia kanak-kanak, al-Jauzi rajin diajak bibinya ke Masjid Abu al-Fadh bin Nashir. Di Masjid inilah, Ia mendapatkan asupan ilmu yang baik, hingga mampu menguasai Hadits.

Bermodal warisan harta ayahnya, al-Jauzi tidak kesulitan dalam mencari ilmu. Dengan kegigihannya, al-Jauzi mampu menandingi para ulama satu generasi dengannya. Jika al-Jauzi mengisi majelis, maka selalu dihadiri ratusan ribu Jama'ah.

Al-Jauzi wafat ditanah kelahirannya. Ia wafat 12 Ramadhan 597 H. Banyak penduduk baghdad yang merasa kehilangan dirinya.

Imam Sufyan ats-Tsauri - Si Yatim Penggores Sejarah

Imam Sufyan ats-Tsauri dilahirkan di Kufah. Ayahnya meninggal dunia saat Imam Sufyan belum genap berusia sembilan tahun. Sejak itu, ibunya merawat dan mengasuhnya dengan penuh perhatian. Ibunya mendorong Imam Sufyan untuk mempelajari Hadits di Masjid.

Sampai-sampai, ia membuat tenunan, lalu dijualnya dengan harga sepuluh dirham. Uang itu diperuntukkan Imam Sufyan belajar Hadits.

Sejak kecil, Imam Sufyan bersemangat dalam menuntut ilmu. Ia memiliki daya ingat yang luar biasa. Ia hafal 300 ribu Hadits, namun Ia tak meriwayatkannya kecuali hanya sepersepuluhnya.

Sepanjang hayatnya ia menulis berbagai kitab. Ia orang yang pertama kali mengarang kitab tentang Hadits-hadits Maudhu (palsu) di Kuffah. Ia juga mengarang kitab, al-jami al Kabir dan al-Jami ash-Shaghir. Imam Sufyan wafat di Bashrah pada tahun 161 H.

Thursday, March 22, 2012

Article - Islam - A Brief Introduction

ALLAH - for Muslims the greatest and most inclusive of the Names of God, an Arabic word of rich and varied meaning, denoting the one who is adored in worship, who creates all that exists, who had priority over all creation, who is lofty and hidden, who confounds all human understanding. It is exactly the same word that the Jews, in Hebrew, use for God (eloh), the word which Jesus Christ used in Aramaic when he prayed to God. God has an identical name in Judaism, Christianity and Islam; Allah is the same God worshipped by Muslims, Christians and Jews.

"He is God, the One God Independent and sought by all; He begets not, nor is begotten, and there is none like unto Him" (The Holy Qur 'an - Chapter 112 - Al-Ikhlas- Sincerity of Faith)

Islam teaches that all faiths have, in essence, one common message:
the existence of a Supreme Being, the one and only God, whose Sovereignty is to be acknowledged in worship and in the pledge to obey His teaching and commandments, conveyed through His messengers and prophets who were sent at various times and in many places throughout history.

Islam, An Arabic word, rich in meaning. One important dimension is the "commitment to submit and surrender to God so that one can live in peace"; Peace (Salam) is achieved through active obedience to the revealed Commandments of God, for God is the Source of all Peace. Commitment to Islam entails striving for peace through a struggle for justice, equality of opportunity, mutual caring and consideration for the rights of others, and continuous research and acquisition of knowledge for the better protection and utilization of the resources of Creation.

Islam teaches that the objective of the Commandment of God is that peace should be established in the human societies of this world, in preparation for a further dimension of human existence in the world to come, the Afterlife. Islam's vision of peace is therefore truly universal; it transcends time and belongs to the order of God's eternity.

Islam does not regard itself to be a new teaching, different or separate from that of other world religions. It is the reaffirmation of the ancient yet living truth of all religions, which can be expressed in the following beliefs:

The Uniqueness of the one and only God who is Sovereign of the universe;

The Revelation of the teaching and commandments of God through Angels in heaven to Prophets on earth, and written in sacred writings which all have the same transcendent source; these contain the will of God which marks the way of peace for the whole universe and all of humankind;

The Day of Judgment which inaugurates the after-life, in which God rewards and punishes with respect to human obedience and disobedience to His will.

Islam affirms these simple beliefs as the basis for the decent, civilized society towards which it strives. Its vision of society is; in essence, no different from that upheld by all monotheistic religions. This is particularly true of Judaism and Christianity, which share with Islam the direct spiritual lineage of the Prophet Abraham. Islam affirms the divinely ordained missions of the Prophet Moses, through whom God revealed the sacred scripture called the Torah, and of the Prophet Jesus, through whom God revealed the scripture known as the Gospel. The message of Islam is in essence the same as that which God revealed to all His prophets and messengers. The Prophet Muhammad (the peace and blessing of God be upon him) was commanded to recite in the Holy Qur'an:

"Say, we believe in God, and that which was revealed unto us, and that which was revealed unto Abraham and lshmael and Isaac and Jacob, and the tribes, and that which was vouchsafed unto Moses and Jesus and the prophets from their Lord; We make no distinction between any of them, and unto Him we have surrendered" (The Holy Qur 'an 3.84)

The success of civilizations and cultures is directly related to the extent of their practice of the righteous way of life revealed in the teaching and commandments of God, and set forth in the monotheistic religions which are confirmed by Islam. God's revelation enshrines the highest values of humankind, and the divine commandments are essentially no different from the values which human beings have cherished and striven to maintain throughout history, regardless of cultural, racial, linguistic and socioeconomic differences. Success in this life is directly related to the practice of these values.

The irreducible minimum of faith is to believe in God as the sole sovereign Lord of this world and the next, and to believe in the reality of the Afterlife for which human beings are to prepare by living righteously in this world. God Alone is the Judge of human righteousness, and it is God Alone who rewards and punishes in this life and in the life hereafter.

Righteousness does not mean for you to turn your faces towards the East and towards the West, but righteousness means one should believe in God (Alone), the Last Day, the angels, the Book and the prophets; and no matter how he loves it, to give his wealth away to near relatives, orphans, the needy, the wayfarer and the beggars, and toward the freeing of captives, and to keep up prayer and pay the welfare tax, and those who keep their word whenever they promise anything; and are patient under strain and hardship and in time of peril Those are the ones who act royally and perform their duty. (The Holy Qur 'an 2:177)

A Muslim is one who is committed to peace continuously striving to follow the way of righteousness and justice revealed by God; the Arabic word muslim refers to a man, muslima to a woman. In either case the literal meaning is "one who submits to God's teachings and commandments, which leads to peace."

Muslims have three distinct advantages to help them in the practice of Islam as their way of life:

1. The Sacred Scripture called the Qur'an, which was revealed to the Prophet Muhammad (peace be upon him) in the 7th century of the Common Era, and which, after 1400 years, remains authentic in its original Arabic text, in the language which is still used and understood by millions of people throughout the world today; it contains God's guidance in teachings and commandments which are valid for all times and all places, and which encompass all spheres of human life.

2. The Prophet Muhammad, whom the Qur'an names as "the Seal (last) of the Prophets", and of whose life and mission there is a complete and authentic record in the Sira and the Hadith. These show how he exemplified the teachings and commandments of God in practice, and elaborated the principles laid down in the Qur'an in order to provide a sure guidance for their interpretation and application for all later times and societies.

3. The Sacred Law, called the Shari'ah, which sets out the way of worship prescribed in the Qur’an and the Prophet's practice; it goes beyond the common understanding of worship as the performance of religious rituals, and encompasses the whole of human life, individual as well as social. Thus all so-called secular activities become acts of worship, provided they are performed with pure and righteous intention, seeking God's pleasure.

Muslims are enjoined to organize their lives on the basis of a series of ritual acts of worship which are ordained in the Qur'an as ways which discipline human beings to remember God constantly, accepting his Sovereignty and pledging to obey His commandments:

1. Declaration of belief (Shahada): this is the initial act of faith, expressed in a simple statement which testifies to one's commitment to following the straight path of God's guidance upon which Muslims seek to live their lives;

"I bear witness that there its no god but God; I bear witness that Muhammad is His servant and His Prophet. "

2. Prayer (Salat), offered five times a day, has the effect of reminding the faithful that "remembrance of God is indeed the greatest virtue", and helps them adhere to the path of righteousness, and to restrain from indecency and evil.

3. Fasting (Sawm), observed through the daylight hours of the 29/30 days of the Islamic month of Ramadan, involves abstinence from eating, drinking, smoking and marital intercourse; this reminds the believers of their dependence upon God, as well as their kinship with, and responsibility for the millions of human beings in the world who experience involuntary fasting because of lack of food, or its unjust distribution.

4. Purification of wealth (Zakat); this requires the annual giving of a fixed amount of excess personal assets for the benefit of the poor, the incapacitated, the deprived, and the welfare of the community; it serves to remind Muslims that all beneficence comes from the bounty of God, and is enjoyed only through His mercy; sharing becomes an act of purification both of the wealth itself, and of the giver whose soul is disciplined against greed by the practice of selflessness.

5. Pilgrimage (Hajj), which all Muslims should perform at least once in a lifetime, if personal circumstances permit; it gathers the believers as members of the diverse human family into a single community. They perform prescribed acts of worship at the Holy House of the Ka’ba in Makkah (Mecca) which, according to the Qur'an, was originally built by the prophet Abraham and his son Ishmael; and at Mount Arafat, where they remember the pure and original way of life of Adam, the progenitor of the human race, reaffirmed by the Patriarch of the entire human family, the Prophet Abraham, and finally perfected and completed by God for all humanity through the mission of the Prophet Muhammad - the way of life known as Islam which has at its heart the doctrine of the unity and uniqueness of the One God.

Each of these prescribed acts of worship brings Muslims daily and repeatedly before God Almighty as the Creator, Sustainer and Judge of all humanity.

Through these acts of worship, God helps Muslims to fulfill the obligation of striving which he has ordained for this life; the striving actively and freely to surrender one's own will in obedience to the Will of God, inwardly in intention and outwardly in word and deed; individually in personal conduct and collectively in the improvement of society; the striving for peace in the world through the proclamation of true faith, and its defense against all that threatens it.

Islam presents human beings with a simple two-fold invitation:

to witness that there is no God but God Almighty;
to witness that Muhammad is the Messenger of God.
This declaration is the door to a life of service. One of participation in a community of believers whose highest duty is to call on humanity to embrace what is righteous and good and to reject what is evil and degrading. Muslims are brothers and sisters of all people of good faith, and wish to strive with them for peace in this world.

source : islam101.net

Article - Every Child is Born a Muslim

Prophet Muhammad (s.a.a.w.) said, "No babe is born but upon Fitra (as a Muslim). It is his parents who make him a Jew or a Christian or a Polytheist." (Sahih Muslim, Book 033, Number 6426)

Islam is the religion of all Prophets, Adam to Muhammad. Children are not born out of any sin, original, inherited or derived. They are born on the religion of their nature, i.e., Islam.



The question which arises here is, "How can all people be expected to believe in Allah given their varying- backgrounds, societies and cultures? For people to be responsible for worshipping Allah they all have to have access to knowledge of Allah. The final revelation teaches that all mankind have the recognition of Allah imprinted on their souls, a part of their very nature with which they are created.

In Soorah Al-A'raaf, Verses 172-173; Allah explained that when He created Adam, He caused all of Adam's descendants to come into existence and took a pledge from them saying, Am I not your Lord? To which they all replied, " Yes, we testify to It:'

Allah then explained why He had all of mankind bear witness that He is their creator and only true God worthy of worship. He said, "That was In case you (mankind) should say on the day of Resurrection, "Verily we were unaware of all this." That is to say, we had no idea that You Allah, were our God. No one told us that we were only supposed to worship You alone. Allah went on to explain That it was also In case you should say, "Certainly It was our ancestors who made partners (With Allah) and we are only their descendants; will You then destroy us for what those liars did?" Thus, every child is born with a natural belief in Allah and an inborn inclination to worship Him alone called in Arabic the "Fitrah".

If the child were left alone, he would worship Allah in his own way, but all children are affected by those things around them, seen or unseen.

The Prophet (PBUH) reported that Allah said, "I created my servants in the right religion but devils made them go astray". The Prophet (PBUH) also said, "Each child is born in a state of "Fitrah", then his parents make him a Jew, Christian or a Zoroastrian, the way an animal gives birth to a normal offspring. Have you noticed any that were born mutilated?" (Collected by Al-Bukhaaree and Muslim).

So, just as the child submits to the physical laws which Allah has put in nature, his soul also submits naturally to the fact that Allah is his Lord and Creator. But, his parents try to make him follow their own way and the child is not strong enough in the early stages of his life to resist or oppose the will of his parents. The religion which the child follows at this stage is one of custom and upbringing and Allah does not hold him to account or punish him for this religion.

Article - Coming of a Muslim

Many places in the Holy Quran, feeding an orphan or an indigent, serving humanity is mentioned before belief in God. In other places, belief in God is followed by service to humanity. A person who shares his wealth and possessions with his needy relatives and others has a beautiful character. He does so only for the love of God without seeking a reward from people. God makes it easy for such a person to become a Muslim.

On the other hand, a person may already be a Muslim and also serving humanity. Such a Muslim is true in word and deeds. There are also many verses in the Holy Quran which speak about severe punishment and being placed in the Hellfire for those people who do not give a portion of their wealth to the needy.

Below are some references from the Holy Quran:

In these verses, giving is mentioned before belief in God.

"So he who gives (in charity) and fears (God), And (in all sincerity) testifies to the best,-We will indeed make smooth for him the path to Bliss. But he who is a greedy miser and thinks himself self-sufficient, And gives the lie to the best,- We will indeed make smooth for him the path to Misery;" (92:5-10)

"And what will explain to thee the path that is steep?- (It is:) freeing the bondman; Or the giving of food in a day of privation To the orphan with claims of relationship, Or to the indigent (down) in the dust. Then will he be of those who believe, and enjoin patience, (constancy, and self-restraint), and enjoin deeds of kindness and compassion. Such are the Companions of the Right Hand. But those who reject Our Signs, they are the (unhappy) Companions of the Left Hand. On them will be Fire vaulted over (all round)." (90:12-20)

The following verse, which gives out real meanings of virtue or righteousness first mentions belief in God and then service to humanity:

"It is not righteousness that ye turn your faces towards east or West; but it is righteousness- to believe in God and the Last Day, and the Angels, and the Book, and the Messengers; to spend of your substance, out of love for Him, for your kin, for orphans, for the needy, for the wayfarer, for those who ask, and for the ransom of slaves; to be steadfast in prayer, and practice regular charity; to fulfil the contracts which ye have made; and to be firm and patient, in pain (or suffering) and adversity, and throughout all periods of panic. Such are the people of truth, the God-fearing."(2.177)

The following is one of many places where severe punishment is mentioned for those who hoard wealth:

"Woe to every (kind of) scandal-monger and-backbiter, Who piles up wealth and lays it by, Thinking that his wealth would make him last for ever! By no means! He will be sure to be thrown into That which Breaks to Pieces, And what will explain to thee That which Breaks to Pieces? (It is) the Fire of (the Wrath of) God kindled (to a blaze), The which does mount (Right) to the Hearts: It shall be made into a vault over them, In columns outstretched." (THE TRADUCER, THE GOSSIPMONGER, CHAPTER NO. 104)

In fact, materialism appears to be the number one aspect of "Shirk" (Polytheism) prevalent in today's world, among Muslims and non-Muslims alike. Coupled with scandal-mongering and backbiting, the other top ranking diseases among people, the end result is the worst place in Hellfire unless a person repents and mends his ways.

May Allah T'ala forgive us, guide our hearts and keep us on the Path of Righteousness. Ameen.

Cara download mp3 dan video moslem brothers.COM

Assalamualaikum, Terima kasih Anda sudah menyempatkan waktu beberapa detik untuk membaca tata cara download mp3 dan video di www.moslembrothers.com

Setiap link download ada juga yang kami beri kata SANDI atau PASSWORD dan itu sudah menjadi kebijakan website kami, untuk memudahkan visitor yang hendak mendownload file-file yang tersedia di moslembrothers.com silahkan ikuti langkah-langkah cara download di bawah ini:


Assalamualaikum, Thank you for taking the time to read a few seconds to download mp3 and procedures for video on www.moslembrothers.com

Every download link is that we also give the word PASSWORD and it has a policy of our website, for visitors who want to make it easier to download files that are available in moslembrithers.com please follow the steps below to download :

1. Klik salah satu judul mp3 yang akan Anda download seperti yang tampak pada gambar dibawah ini
1. Click one of the titles you want to download mp3 as shown in the picture below


















2. klik tulisan warna merah " KLIK DISINI " yang saya lingkari dengan warna merah letaknya dibawah video
2. click on red "CLICK HERE" which I circled in red is located below the video




















3. Lalu akan muncul halaman website dengan warna hitam, arahkan kursor dan klik tulisan warna merah yang saya lingkari dengan warna merah

3. Then will come with black pages, point the cursor and click on the red color that I circled in red




















4. Berikutnya Anda akan masuk ke halaman website 4shared.com untuk melakukan proses download file mp3 atau video, disini setiap file ada yang di kasih password dan ada juga yang tidak ada passwordnya. Jika Anda diminta untuk memasukan password silahkan masukan passwordnya ini www.moslembrothers.com lalu klik tombol oke

4. Next you will go to our website 4shared.com to download the mp3 or video file, here each file there is a love there is also a password and no password. If you are prompted to enter a password please input this password and click OK www.moslembrothers.com


Selamat mencoba semoga berhasil

Good luck

Ustaz Hassan Din - Allah Bertanya Iblis Menjawab

Silahkan download mp3 nya cukup KLIK DISINI

Ustaz Abu Hassan Din - Nama - nama yang Baik

Silahkan download mp3nya cukup KLIK DISINI

Ustaz Habib Ahmad Alkaff - Umat Yang Di Rindui Nabi Muhammad S.A.W

Silahkan download mp3nya cukup KLIK DISINI

Ustaz Dr Ahmad Dahri - Tanda Kiamat besar

Silahkan download mp3nya cukup KLIK DISINI

Ustaz Umar Md Noor - Riwayat Uwais Al Qarni

Silahkan download mp3nya cukup KLIK DISINI

Mp3 Ust Ahmad Al Habsy - Sedekah Itu Luar Biasa



Silahkan download mp3nya cukup Klik disini

Imam Ghazali - Si Yatim Penggores Sejarah

Al Ghazali dilahirkan di Thus pada tahun 450 H/ 1058 M. Ia ditinggal wafat oleh Ayahnya saat masih anak-anak. Selanjutnya, ia diasuh oleh Washiyun, seorang sufi, selama beberapa waktu. Kemudian washiyun memasukkannya ke Madrasah Khairiah dan Al Ghazali pun hidup dan belajar di sana selama enam tahun.

Abu Hamid Al Ghazali merupakan seorang pemikir besar Islam terutama dalam bidang ilmu akhlak. Al-Ghazali mampu menjelaskan jalan atau metode ilmiah untuk mendidik anak, memperbaiki akhlak yang tercela dan mengentaskan penyakit akhlak tersebut. Ia juga merupakan pakar dalam ilmu manthiq dan filsafat murni.

Al-Ghazali wafat di tanah kelahirannya, Thus, pada tahun 505 H/1111 M.