Sunday, August 5, 2012

Sahabat Nabi - Ubadah bin Shamit, Sang Penentang Kezaliman

“Sekiranya orang-orang Anshar menuruni lembah atau celah bukit, pasti aku akan mendatangi lembah dan celah bukit orang-orang Anshar. Dan kalau bukanlah karena hijrah, tentulah aku akan menjadi salah seorang warga Anshar!”

Demikian ungkapan Rasulullah terhadap orang Anshar. Mereka adalah para sahabat yang berada di Madinah dan menolong kaum Muslimin yang hijrah ke tempat mereka. Karena itulah mereka dipanggil dengan Anshar yang berarti penolong.

Di antara mereka ini adalah Ubadah bin Shamit. Di samping seorang warga Kaum Anshar, ia merupakan salah seorang pemimpin mereka yang dipilih Nabi SAW sebagai utusan yang mewakili keluarga dan kaum kerabat mereka.

Ubadah termasuk utusan Anshar yang pertama datang ke Makkah untuk mengangkat baiat kepada Rasulullah SAW dan masuk Islam, yakni baiat yang terkenal sebagai Baiatul Aqabah pertama. Ia termasuk salah seorang dari 12 orang beriman yang segera menyatakan keislaman dan mengangkat baiat, serta menjabat tangannya, menyatakan sokongan dan kesetiaan kepada Rasulullah SAW.

Dan ketika datang musim haji tahun berikutnya, yakni saat terjadinya Baiatul Aqabah kedua yang diikuti 70 orang beriman, Ubadah menjadi utusan dan wakil orang-orang Anshar. Kemudian, ketika peristiwa berturut- turut silih berganti, saat-saat perjuangan, dan pengorbanan susul-menyusul tiada henti, Ubadah tak pernah tertinggal dalam setiap peristiwa.

Semenjak ia menyatakan, Allah dan Rasul sebagai pilihannya, maka dipikulnya segala tanggung jawab akibat pilihannya itu dengan sebaik- baiknya. Segala cinta kasih dan ketaatannya hanya tertumpah kepada Allah, dan segala hubungan baik dengan kaum kerabat, dengan sekutu-sekutu maupun dengan musuh-musuhnya, hanya sesuai dan menuruti pola yang dibentuk oleh keimanan dan norma-norma yang dikehendaki oleh keimanan ini.

Semenjak dulu, keluarga Ubadah telah terikat dalam suatu perjanjian dengan orang-orang Yahudi Bani Qainuqa’ di Madinah. Ketika Rasulullah SAW bersama para sahabatnya hijrah ke kota ini, orang-orang Yahudi memperlihatkan sikap damai dan persahabatan terhadapnya.

Tetapi pada hari-hari yang antara Perang Badar yang mendahului Perang Uhud, orang-orang Yahudi di Madinah mulai menampakkan belangnya. Salah satu kabilah mereka, yaitu Bani Qainuqa’ membuat ulah untuk menimbulkan fitnah dan keributan di kalangan kaum Muslimin.

Melihat hal ini, Ubadah secepatnya ia melakukan tindakan yang setimpal dengan jalan membatalkan perjanjian dengan mereka. Ia berkata, “Saya hanya akan mengikuti pimpinan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman!”

Tidak lama kemudian turunlah ayat Alquran memuji sikap dan kesetiaannya ini melalui firman-Nya, “Dan barangsiapa yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang beriman sebagai pemimpin, maka sungguh, partai atau golongan Allahlah yang beroleh kemenangan.” (QS. Al-Maidah: 56).

Ubadah bin Shamit yang mulanya hanya menjadi wakil kaum keluarganya dari suku Khazraj, sekarang meningkat menjadi salah seorang pelopor Islam, dan salah seorang pemimpin kaum Muslimin.

Pada suatu hari Rasulullah SAW, menjelaskan tanggung jawab seorang amir atau wali. Didengarnya Rasulullah menyatakan nasib yang akan menimpa orang-orang yang melalaikan kewajiban di antara mereka atau memperkaya dirinya dengan harta, maka tubuh Ubadah gemetar dan hatinya berguncang.

Ia bersumpah kepada Allah tidak akan menjadi pemimpin walau atas dua orang sekalipun. Dan sumpahnya ini dipenuhi sebaik-baiknya dan tak pernah dilanggarnya.

Di masa pemerintahan Amirul Mukminin Umar bin Khathab, tokoh yang bergelar Al-Faruq ini pun tidak berhasil mendorongnya untuk menerima suatu jabatan, kecuali dalam mengajar Umar dan memperdalam pengetahuan mereka dalam soal agama.

Memang, inilah satu-satunya usaha yang lebih diutamakan Ubadah dari lainnya, menjauhkan dirinya dari usaha-usaha lain yang ada sangkut-pautnya dengan harta benda dan kemewahan serta kekuasaan. Oleh sebab itu, ia berangkat ke Suriah dan merupakan salah seorang dari tiga sekawan, bersama Mu’adz bin Jabal dan Abu Darda, menyebarkan ilmu, pengertian dan cahaya bimbingan di negeri itu.

Ubadah juga pernah berada di Palestina untuk beberapa waktu dalam melaksanakan tugas sucinya, sedang yang menjalankan pemerintahan ketika itu adalah Muawiyah. Ubadah termasuk rombongan perintis yang telah dididik oleh Nabi Muhammad SAW dengan tangannya sendiri, yang telah beroleh limpahan mental, cahaya dan kebesarannya.

Dan seandainya di kalangan orang-orang yang masih hidup, ada yang dapat ditonjolkan untuk percontohan luhur sebagai kepala pemerintahan yang dikagumi oleh Ubadah dan dipercayainya, maka orang itu tidak lain tokoh terkemuka yang sedang berkuasa di Madinah; Umar bin Khathab.

Sekiranya Ubadah melanjutkan renungannya dan membanding-bnadingkan tindak-tanduk Muawiyah dengan apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar, jurang pemisah di antara keduanya menganga lebar, dan sebagai akibatnya akan terjadilah bentrokan dan memang telah terjadi.

Berkata Ubadah bin Shamit RA, “Kami telah baiat kepada Rasulullah SAW, tidak takut akan ancaman siapa pun dalam menaati Allah!”

Ubadah adalah seorang yang paling teguh memenuhi baiat. Dan jika demikian, maka ia tidak akan takut pada Muawiyah dengan segala kekuasaannya, dan ia akan tegak mengawasi segala kesalahan Muawiyah.

Waktu itu penduduk Palestina menyaksikan peristiwa luar biasa, dan tersiarlah berita ke sebagian besar negeri Islam tentang perlawanan berani yang dilancarkan Ubadah terhadap Muawiyah, sehingga menjadi contoh teladan bagi mereka.

Bagaimana pun juga terkenalnya Muawiyah sebagai orang yang gigih dan ulet, tetapi sikap dan pendirian Uabadah itu tidak urung menyebabkan sesak nafas. Hal itu dipandangnya sebagai ancaman langsung terhadap wibawa dan kekuasaannya.

Ubadah juga melihat jarak pemisah di antara dirinya dengan Muawiyah, kian bertambah lebar. Akhirnya, ia berkata kepada Muawiyah, “Demi Allah, aku tidak ingin tinggal sekediaman denganmu untuk selama-lamanya!” Lalu Ubadah pun meninggalkan Palestina dan berangkat ke Madinah.

Amirul Mukminin Umar adalah seorang yang memiliki kecerdasan tinggi dan berpandangan jauh ke depan. Ia selalu menginginkan kepala-kepala daerah tidak hanya mengandalkan kecerdasannya semata dan menggunakannya tanpa reserve.

Maka terhadap orang seperti Muawiyah dan kawan-kawannya, tidak dibiarkan begitu saja tanpa didampingi sejumlah sahabat yang zuhud dan saleh, serta penasihat yang tulus ikhlas. Mereka bertugas membendung keinginan-keinginan yang tidak terbatas, dan selalu mengingatkan mereka akan hari-hari dan masa Rasulullah SAW.

Oleh sebab itu, ketika Umar RA melihat Ubadah telah berada di Kota Madinah, ia bertanya, “Apa yang menyebabkanmu ke sini, wahai Ubadah?”

Ubadah menceritakan peristiwa yang terjadi antara dirinya dengan Muawiyah. Umar berkata, “Kembalilah segera ke tempatmu! Amat buruk jadinya suatu negeri yang tidak memiliki orang sepertimu.”

Kepada Muawiyah juga dikirim surat yang di antara isinya terdapat kalimat, “Tak ada wewenangmu sebagai amir terhadap Ubadah.”

Memang, Ubadah menjadi amir bagi dirinya. Jika Umar Al-Faruq sendiri telah memberikan penghormatan kepada seseorang setinggi ini, tentulah dia seorang besar! Dan sungguh, Ubadah adalah seorang besar, baik karena keimanan, maupun karena keteguhan hati dan kelurusan jalan hidupnya.

Pada tahun 34 Hijriyah, ia meninggal dunia di Ramlah, Palestina. Utusan Anshar khususnya, dan agama Islam pada umumnya ini meninggalkan teladan yang tinggi dalam arena kehidupan. Ia seorang penegak kebenaran dan pelurus penyelewengan.

Sumber: 101 Sahabat Nabi karya Hepi Andi Bastoni

No comments:

Post a Comment