Wednesday, June 27, 2012

Cerpen - Sesuap Nasi

Aku mempercepat langkahku sambil sesekali membasuh peluh yang hampir menetes. Lebih cepat lagi. Setengah berlari. Ada yang harus kusampaikan dengan segera kepada sahabat terbaikku, tempat mengadu, mengeluh dan yang paling utama tempatku meminjam uang. Sebentar lagi aku akan sampai di toko sembako Haji Mamat, tempat Ucup bekerja sebagai pelayan. Beberapa langkah lagi.

Ramai dan antre oleh para pembeli. Aku harus menunggu para pembeli itu membubarkan diri satu persatu. Hanya satu yang belum beranjak pergi. Seorang pria berkaos lusuh dengan tas ransel di punggungnya yang berdiri di dekat karung beras, tapi aku tak peduli. Kabar ini harus segera kusampaikan. Aku tidak mampu menuggunya lagi.

“Ucup! Ucup!” teriakku membuat Ucup menatap tajam wajah gembiraku dan menghentikan aktifitasnya.

“Gue udah dapet kerja. Lu nggak perlu takut! Gue nggak ngutang lagi,” kataku dengan bangga.

“Kerja apaan?”

“Cleaning service di restoran tempat orang-orang kaya pada makan.”

“O… kirain…”

“Lu kan, tau sendiri. ” Ucup tak mau menggubrisku lagi. Ia langsung melayani pria yang berdiri di dekat karung beras itu. Padahal pria tersebut hanya membeli segelas aqua.

***

Pakaianku lebih rapi dari biasanya, mampir sebentar di warung kopi untuk mengganjal perut, kemudian berangkat. Aku akan memulai pekerjaan baruku. Pekerjaan yang kunantikan, setelah sekian lama mondar-mandir mencarinya. Tidak akan lagi menjadi tukang parkir, calonya para sopir angkutan yang mengetem di perempatan lampu merah dan kerja serabutan lainnya.

Tidak lama lagi aku akan menunaikan cita-citaku untuk pindah dari kontrakan ini. Tidak akan ada lagi antre untuk mandi atau sekadar membersihkan wajahku ketika bangun dari tidur. Aku sudah bosan dengan air hujan yang selalu merembes pada dinding triplek di musim hujan seperti ini.

Belum lagi ukurannya yang hanya sepetak mampu melelehkan tubuhku jika tiba musim panas. Hhh... sebuah kontrakan yang hanya layak untuk para pengangguran dan pekerja serabutan.
“Mau berangkat kerja ya?” Mendadak suara itu mengagetkanku yang baru saja memajang tubuhku di depan pintu. Aku tidak langsung menjawabnya, sedikit memperhatikan pakaian dan wajahnya yang pernah kulihat.

“O, ya. Pria yang kemarin kulihat di toko Haji Mamat,” batinku.

Bukankah di pagi seperti ini biasanya orang-orang memang sibuk untuk bekerja? Hanya orang-orang yang menganggur dan kerja serabutan saja yang masih santai pada jam segini. Tentu saja aku tahu, aku baru saja melepas jabatan itu kemarin. Ternyata dia tetangga baru di sebelah kamarku. Namanya Karya.

“Gue Mis, Misbah. Mau ngopi dulu, yuk!”

“Makasih, saya lagi puasa,” jawabnya.

“O...” aku membulatkan mulutku dengan segera.

***

Merapikan dan membersihkan meja makan, lantai dan dapur adalah tugas yang tidak rumit. Meskipun aku lelaki, tetapi dulu emak sering memperkenalkan pekerjaan ini kepadaku. Tidak, masih ada yang terasa berat, sulit bagiku untuk melakukannya. Tidak sampai hati. Aku tidak hanya sekadar menyaksikan, tetapi menjadi pelakunya.

Menumpahkan sisa-sisa nasi dan makanan yang berserak di piring-piring ke dalam plastik, kemudian menggiringnya ke tempat pembuangan. Bagaimana tidak? Sepanjang hidup emak, dia selalu bersusah payah. Aku masih ingat ketika emak mengais sisa-sisa beras yang tumpah di toko beras dekat pasar. Setelah itu, emak akan berjalan menuju tukang sayuran untuk melakukan hal yang sama. Kemudian mengolah semuanya untuk menjadi santapanku.

Meskipun manajer di restoran ini mempersilahkan para karyawannya untuk makan secukupnya, aku sempat memintanya untuk kubawa pulang dan kubagikan para tetangga di kontrakan. Pasti mereka akan senang, karena tidak hanya dapat menyembuhkan rasa lapar, tetapi juga dapat memberinya kesempatan untuk mencicipi makanan enak dan steril.
Tunggu dulu! Tidak semudah itu, buktinya ada perkataan yang memaksaku untuk melupakan niat yang telah kuanggap sangat mulia ini.
“Kami tidak mau mengambil risiko bila terjadi sesuatu akibat makanan tersebut. Kebersihan makanan tidak lagi terjamin jika sudah di luar sana,” katanya.

***

Aku berjalan gontai membawa lelah dan pengalaman kerjaku yang mengenaskan. Sesaat ada yang memaksa perhatianku kepadanya. Seorang lelaki yang sudah renta, kepala dan dagunya pun tak luput dari warna putih. Jalannya yang lambat membuatku mampu mengamati dirinya yang terbalut pakaian lusuh. Tiba-tiba langkahnya terhenti ketika melihat undukan sampah yang teronggok di sarangnya. Kemudian, tangannya mulai bermain di dalamnya untuk melacak keberadaan sisa makanan. Mendadak matanya berbinar menemukan bungkusan nasi yang sudah rusak, tapi itu sesaat. Segera disusul oleh kecewa, karena nasi yang ditemukannya sudah basi.

“Ahh… andai saja aku berhak mengajaknya ke restroran tempatku bekerja dan menyuruhnya menghabiskan sisa-sisa makanan di sana, ” sesalku pelan.

Aku tidak sanggup menyaksikannya lebih jauh lagi. Hatiku terasa sakit, tidak mampu berbuat sesuatu untuk menghilangkan laparnya. Kejantananku hampir hilang oleh butir bening yang menggantung di sudut mataku.

***

“Maaf! Saya puasa,” tolak Karya untuk kesekian kali ketika kuajak ke warung kopi.

Perlahan ada rasa kagum untuknya. Bagaimana tidak? Dari kecil aku sering merasa susah untuk mendapatkan sesuap nasi, tapi kalau harus mensiasatinya dengan puasa, aku akan berpikir bolak-balik. Ya, hanya orang seperti kami inilah yang mampu menghargai sesuap nasi demi perut. Tidak seperti mereka yang keluar dan masuk restoran itu.

Dulu aku pernah menyisakan makanan seperti mereka itu, kemudian emak berkata, “Kita tidak akan pernah bisa menghitung berapa banyak orang yang lebih buruk dari kita untuk mendapatkan sesuap nasi. Jika tak mampu membantu mereka, setidaknya kita tidak membuang makanan dengan sia-sia. Sebutir nasi yang kita sisakan, bisa jadi merupakan sebutir nasi yang membuat orang mati karena tak bisa mendapatkannya.”

Mudah-mudahan mereka segera sadar akan hal itu. Meskipun aku sudah sering membuang makanan sisa mereka, tetapi aku tetap saja tidak mampu berdamai dengan hatiku sendiri. Sungguh aku merasa lelah untuk membuat batinku selalu berdebat hebat.

***

Kali ini aku nekat keluar dari job list untuk memperhatikan pengunjung restoran. Bukan hanya satu atau dua orang yang bersikap mubazir, tetapi cukup banyak. Bahkan terlalu banyak. Hampir seluruh pengunjung di restoran ini.

Aku mendapati orang tersebut. Entah tidak napsu makan atau selera makannya hilang secara tiba-tiba? Yang pasti sejak pertama aku bekerja, orang tersebut selalu memesan makanan yang lebih dari porsinya dan menyisakannya di piring. Aku sengaja menghampirinya ketika ia bersiap-siap untuk meninggalkan meja makannya.

“Maaf, Pak! Mau dibungkus makanannya?” tawarku.

“Tidak perlu,” jawabnya tanpa mempedulikanku.

“Tapi Bapak belum menghabiskan makanannya,” kataku sambil mencegah langkahnya.

“Tetap saya bayar kok,” jawabnya lagi sambil ngeluyur pergi ke kasir.

Aku tidak kesal dengan sikapnya yang tak acuh kepadaku, tetapi aku kesal jika dia tak acuh dengan sisa makanannya. Bayangkan di luar sana berapa banyak orang yang dibuat kecewa oleh sikapnya yang seperti ini! Bahkan, beberapa di antara mereka terpaksa membeli nasi aking untuk menahan laparnya. Bayangkankan pula biaya pembuangan sisa makanan yang harus dikeluarkan oleh produsen serta dampaknya terhadap lingkungan!

***

“Meskipun sering puasa, tetap aja saya nggak bisa berbuka dengan makanan yang enak,” jawab Karya saat kuselidiki kebiasaannya.

Kata-katanya membuat kesabaranku habis. Aku tidak mau melanjutkan pekerjaanku di restoran itu, tapi bagaimana dengan pesan si Ucup, “Jangan berpikir kalo pekerjaan lu adalah hina! Ingat kebersihan itu sebagian dari iman!”

“Maafin gue, Cup!” lirihku pelan.

Aku tidak mau bekerja di lingkungan setan. Bukankah pelaku mubazir itu adalah saudaranya setan? Aku akan mencari pekerjaan lain. Pokoknya pekerjaan yang tidak menyinggung para kaumku atau mereka yang senasib denganku. Jika perlu aku akan kembali ke perempatan lampu merah itu. Ya, aku mantap dengan keputusanku. Aku sudah tahu solusi yang baik jika aku kembali kerja serabutan. Aku akan berpuasa seperti yang dilakukan Karya. Aku tak perlu takut mati karena kelaparan.

***

“Mis!” Suaranya tak asing, aku pun menoleh. Ternyata benar, itu adalah suara Ucup.

Sejak sibuk menjadi Cleaning service hampir tak pernah ada pertemuan di antara kami, tapi Ucup tidak pernah berubah. Dia selalu ada di saat aku susah, bahkan di sela-sela perjalananku saat ini.

“Kok udah pulang jam segini, Mis?” tanya Ucup

“Iya. Gue ngundurin diri”

“Apa? Yang benar aja?”

“Gue nggak sanggup lagi kerja di restoran itu. Gue udah pernah cerita kan, kejadian-kejadian di sana?”

“Iya. Tapi kita ini orang kecil, Mis. Apalagi cuma lulusan SD, kerja jadi pelayan toko aja udah bersyukur.”

“Ahh... udahlah, Cup! Lu nggak perlu takut! Gue nggak akan ngutang di toko Haji Mamat lagi, gue mau puasa kayak si Karya.”

“Bukan itu, Mis. Lu itu baru ngeliat sebagian kecil orang-orang yang berjuang mencari sesuap nasi dengan cara halal. Lu sendiri mau jadi apa? Lu pikir semakin banyak kejahatan di negara kita ini gara-gara apa? ” Ucup nyerocos dengan nada kesalnya.

Aku terdiam beberapa saat untuk menyelami kata-kata Ucup, tapi itu tak membuatku menyesal dengan keputusanku. Toh dari dulu si Ucup memang hobi menasehatiku. Dan aku akan tetap mengikuti langkah si Karya. Bukankah tidak ada seorang pun di dunia ini yang meninggal karena puasa?

“Gue nggak takut kalo lu ngutang lagi di toko Haji Mamat. Karena gue udah nggak kerja di situ lagi, ” tambahnya, masih tetap dengan nada kesalnya.
“Kenapa? Bukannya gue udah nggak ngutang lagi? Lu nggak diomelin lagi gara-gara gue kan, ...?” tanyaku cemas.

“Emang bukan itu, tapi lain lagi masalahnya. Hampir setiap hari selalu ada beberapa sembako yang hilang. Meskipun sedikit-sedikit, lama-lama Haji Mamat kesal. Ya udah, karena gue pelayan di situ, kemarin gue dipecat.”

***

Tidak ada lagi kesibukan, termasuk pergi ke warung kopi di pagi tadi. Karena hari ini aku sudah memutuskan untuk berpuasa. Aku ingin menemui Karya di kamarnya. Aku belum melihat batang hidungnya dari pagi. Mungkin dia sedang tertidur lelap, dikejar kantuk akibat sahur.

“Kebetulan tidak terkunci,” gumamku pelan.

Aku tak kalah kagetnya dengan Karya yang kepergok sedang menyuap nasi ditemani semangkuk mi instant.

“Kok nggak berangkat kerja?” tanyanya gugup sambil menahan kunyah di mulutnya.

“Gue udah nggak kerja lagi”

“Ohh... ya udah duduk sini!” tawarnya sambil tertawa geli.

“Kenapa ketawa?”

“Ya, senang aja. Berarti ada temannya, nggak nganggur sendirian.”

“Tapi kan, lu...”

“Itu karena saya malu, abis waktu itu kamu udah kerja.”

“O...” ucapku masih penuh dengan tanda tanya. “Nggak biasanya hari ini nggak puasa?”

“Pelayan tokonya masih baru. Jadi ada kesempatan buat ngambil jatah makan siang.”

Sesaat bayang Ucup menyita benakku dan kata-katanya terngiang hebat di telingaku.


*Ita Ayankta adalah nama pena Nurbaiti Bahrudin. Mahasiswa Semester 6 Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syahid Jakarta

Cerpen - Menikahimu, Bukti atas 14 Tahun Silam

“Suamiku, kenapa kau menangis? Padahal ini adalah hari pertama kita menjadi suami istri, belum genap 24 jam kita melalui hari ini. Suamiku, apa yang menyebabkan kau menangis?”

Tanya Dewi kepada suaminya di tengah malam hari pertama pernikahannya. Tanggal 25 Desember 2011, tepatnya Jam 10 pagi tadi ia bersama seorang laki-laki yang sangat ia cintai melaksanakan suatu ibadah suci; Nikah.

Sebetulnya tadi Dewi sedang tidur lelap dan tidurnya sangat awal. Wajar saja, karena kegiatan resepsi pernikahannya menguras banyak tenaga, mental dan pikiran. Malam sebelum hari pernikahannya ia tidak bisa tidur. Rasa nervous terus memeluknya; Berkali-kali dia pergi ke toilet, serasa ia ingin terus buang air kecil.

Acara ini momentum yang sangat ia tunggu dan sakral baginya. Ia akan membina rumah tangga dengan seorang laki-laki idamannya. Yang ia mimpikan dalam setiap helaan nafas dan do’a-do’anya di sepertiga malam akhir.

“Seorang pria yang secara spiritual dan material sudah matang”, pikirnya.

Pria alumnus Al-Azhar Kairo Mesir, menuntaskan program master di Belanda dan Doktoralnya di Australia. Seorang dosen muda di salah satu Universitas Negeri di Jakarta, dengan ide-ide original yang tertuang dalam tulisan-tulisannya. Sering sekali tulisannya mengisi surat kabar lokal dan nasional.

Bagi Dewi, menikah dengan pria yang sekarang menjadi suaminya merupakan sebuah anugerah besar dari Allah. Ia merasa bahwa Allah sudah memberikan bonus lebih atas do’a-do’anya. Secara fisik, suaminya mempunyai paras di atas rata-rata, tinggi 173 cm, badan atletis karena rajin olahraga, pendek kata guanteng habis.

Sebetulnya yang membuat ia tidak bisa tidur, bukan saja nervous namun rasa bahagia yang terluapkan dengan mengobrol sampai pagi bersama sahabat-sahabat karibnya. Tiga sahabat karibnya datang satu hari sebelum pernikahannya, sebagai rasa setiakawan dan ungkapan rasa kebahagiaan untuk temannya.

“Istriku, maafkan aku!”

“Kenapa kau malah minta maaf?”

Mengetahui respon suaminya yang baru 10 jam ini, Dewi bingung. Hatinya gelisah. Apa yang menyebabkan suaminya menangis, dan kenapa juga dia minta maaf.


***


Setelah sholat Isya berjama’ah, Faris menyuruh istrinya untuk tidur lebih awal. Karena ia tahu istrinya begitu lelah untuk acara pernikahan mereka. Istrinya sebetulnya menolak untuk tidur lebih awal. Ia ingin bersama suaminya dulu untuk menemani para tamu. Banyak tamu yang berkunjung baik tetangga dekat maupun tamu-tamu di luar daerah.

Karena suaminya memintanya dengan tulus dan ia pun memang merasakan keletihan yang sangat, ia akhirnya berpamitan kepada suaminya untuk tidur pergi ke kamar lebih dulu. Padahal, jam di tangannya baru menunjukan angka 20.35.

Faris baru bisa menyusul istrinya masuk ke kamar, setelah para tamu pulang sekitar pukul setengah dua belas. Setelah masuk kamar, ia lekas ganti pakaian tidur kemudian ia melihat istrinya yang sedang tidur lelap.

Diam mematung sejenak, dia perhatikan istrinya lama sekali. Ada satu bongkah rasa yang timbul di kedalaman hatinya. Dia pun tidak mengetahui rasa apa itu. Akhirnya, ia tersadar ketika ada rasa dingin yang menetes di bawah matanya; Satu butir air mata. Kemudian ia selimuti istrinya, dan mencium kening istrinya. Ia pun membaringkan badannya di samping istrinya.

Angin malam yang dingin, malam yang gelap nan sunyi seolah sudah menjadi teman sejatinya. Betapa tidak! Angin malam selalu menyelimutinya dari rasa dingin, malam gelap nan sunyi selalu membangunkannya dengan cerah dan candanya. Membuatnya rindu berteman dengan angin malam.

Pun dengan malam ini, matanya perlahan terbuka dan kesadarannya perlahan hadir. Setelah matanya benar-benar terbuka, dengan setengah kesadarannya, ia langsung mendekatkan pergelangan tangan kirinya ke depan matanya. Tampak jelas angka 02:09.

Ia mengumpulkan semua tenaganya ke seluruh tubuhnya untuk bangun. Namun ketika ia menengok ke sebelah kiri betapa terkejutnya dia, hampir saja ia teriak. Bangun tidur kali ini ia mendapati keadaan yang berbeda; Sangat berbeda dibanding bangun tidur sebelumnya selama ini. Ada sesosok tubuh yang terbaring lelap disana. Seraya ia bergumam, “Oh iya, aku kan sudah menikah 10 jam yang lalu”.

Duduk, terdiam dan ia lihat wajah istrinya terus dan menerus. Tersadar oleh dinginnya air mata, satu tetes, dua tetes sampai tetesan itu berubah menjadi aliran. Tangisan sunyi hampir tidak bisa ia tahan. Ia tidak mau membangunkan istrinya yang terlelap karena letih. Ia putuskan untuk mengambil air wudlu dan melaksanakan sholat tahajjud dua raka’at.

Setelah salam ia mengangkatkan dua tangannya, “Ya Allah, terimakasih banyak atas semua nikmat-Mu, Ya Allah, terimakasih atas nikmat-Mu, Ya Allah, terimakasih..” hanya itu yang keluar dari mulutnya, seolah ia tidak bisa mengungkapkan kata-kata yang lain.

Ingatannya lari kepada istrinya. Setiap kali ia ucapkan terimakasih, semakin kuat ingatannya kepada istrinya. Semakin kuat ingatan pada istrinya, semakin kuat air matanya memaksa untuk keluar. Tangisannya terhenti karena kaget mendengar sebuah pertanyaan yang sangat ia kenal.

“Suamiku, kenapa kau menangis? Padahal ini adalah hari pertama kita menjadi suami istri, belum genap 24 jam kita melalui hari ini. Suamiku, apa yang menyebabkan kau menangis?”

“Istriku, maafkan aku!”

“Kenapa kau minta maaf?”

Faris tidak langsung menjawab pertanyaan istrinya itu. Ia malah terdiam, berusaha menahan air mata yang akan keluar lagi. Air mata Faris dalam satu malam ini sudah keluar tiga kali setiap kali melihat istrinya. Dia sama sekali tidak menyadarinya, bahwa setiap melihat istrinya dia teringat masa 14 tahun silamnya. Ketika ingatannya kembali pada masa itu, maka air matanya keluar.


***


***08 Desember 1997 ***

“Ris, ada salam dari si Nur”

“Wa’alaikumussalam” Faris menjawab, sambil ia melanjutkan jalannya setelah menoleh ke Mutmainnah.

“Faris, mau kemana kamu? Kamu itu sok JAIM, sok muna (munafiq)!”

“JAIM mungkin iya, tapi muna, apa alasan kamu bilang saya muna? Saya tidak bohong, tidak ingkar janji, tidak juga berkhianat.”

“Kamu itu dapat salam dari si Nur, jawaban kamu seadanya saja. Si Nur itu cantik, pinter dan sholehah lagi. Aku yakin kamu juga suka kan sama dia?”

“Innah..!”

Panggilan mutmainnah, kemudian Faris melanjutkan kata-katanya, “Suka, benci, yakin, takut, marah dan yang semacam itu adalah emosi, dan semua itu urusan hati. Semua itu hak asasi seseorang selama tidak merugikan orang lain. Tidak ada hubungannya dengan muna atau tidak.”

“Ya kalau memang kamu suka sama Nur, kamu ungkapkan dong, bilang sama dia. Aku yakin kalau kalian jadian kalian akan jadi pasangan serasi deh di sekolah ini.”

“Maksud kamu, suami istri?”

“Faris, Faris, kamu itu bego apa idiot sih? Ya bukan suami istri lah... pasangan pacaran maksudnya.”

“Hahaha” mendengar jawaban mutmainnah Faris hanya bisa tertawa.

“Kamu tertawa kenapa, ris? Emang ada yang lucu?”

“Iya… saya yakin, dia tidak akan mau semacam itu karena dia pinter”

“Maksud kamu?”

“Kamu kan tahu sendiri, udah ya aku mau cepet masuk kelas ni,” Faris meninggalkan Mutmainnah tanpa menunggu respon.

Mutmainnah yang mendengar jawaban Faris dan langsung meninggalkannya, hatinya mangkel dan jengkel.


***Satu minggu setelah tanggal 8 desember 1997***


“Aku cari-cari kamu, ternyata kamu ngumpet di perpus.”

“Memangnya aku ini teroris? Sampai harus ngumpet-ngumpet, terus ngapaian kamu cari-cari aku?”

“Aku ngerti sekarang maksud kamu kenapa Nur tidak akan mau pacaran?”

“Emang apa?"

“Katanya, dia gak mau pacaran sampai saat ia mau menikah, pacaran hanya akan membuang waktu, tenaga, pikiran bahkan materi menjadi sia-sia, bahkan pacaran hanya akan membawa kemaksiatan-kemaksiatan saja”

“Oh.. begitu, kamu sekarang faham?”

“Faham, tapi aku gak setuju, soalnya pacaran di pesantren kita kan tidak macam pacaran anak-anak yang lain, yang jalan berdua sambil pegangan tangan, pulang larut malam, kissing bahkan lebih dari itu. Kita hanya surat-suratan bahkan untuk ngobrol saja di pesantren ini sulit. Apanya yang membuat maksiat?,

“Ya kalau memang pacarannya hanya untuk mencoba mengenal calon pasangan hidup dengan tanpa menyalahi aturan syara’ gak apa-apa?"

“Maksud kamu ta’aruf?”

“Ta’aruf itu bahasa Arab, bukan bahasa agama. Jadi, ketika seseorang ingin mengenal calonnya apakah cocok atau tidak dan semuanya itu berada pada koridor syara’ maka itu boleh-boleh saja.”

“Tapi katanya secara psikologis kalau punya perasaan tidak diungkapkan akan menjadi tekanan mental lho, mungkin menjadi penyakit.”

“Seandainya demikian, demi menjaga agama semoga itu bernilai ibadah.”

“Terus bagaimana kalau nanti kamu menikah dengan orang yang berbanding terbalik dalam dengan kamu dalam hal ini?” Tanya mutma’innah, ingin mengetahui sejauh mana prinsip yang dimiliki Faris dan apa yang menyebabkan Faris mempunyai prinsip demikian.

Ditanya demikian Faris diam, tidak langsung menjawab. Sampai-sampai Mutmainnah penasaran dan mengulang pertanyaannya.

“Bagaimana, ris?”

“Innah, kamu ingat apa yang diajarkan Ustadzah Elis kemarin?”



“Suamiku…”

Ingatan akan 14 tahun silam terhenti oleh sebuah panggilan.


***


“Kenapa kau minta maaf? Jangan-jangan engkau...?”

Dewi tidak bisa melanjutkan kata-katanya karena tenggorokannya tersedat oleh ketakutan yang bergejolak dalam pikirannya. Ia langsung bertanya ulang karena suaminya malah tambah menangis ketika mendengar pertanyaannya itu. Semakin takut. Takut bahwa tangisan suaminya sesuai dengan pikirannya. Takut bahwa suaminya menyesal karena sudah menikah dengannya 14 jam yang lalu.

“Wahai suamiku, kenapa engkau tidak menjawab pertanyaanku? Apakah aku sudah melakukan kesalahan kepadamu?”

“Tidak sayang, kamu tidak salah apa pun.”

“Tapi kenapa kau menangis? Apakah menyesal karena menikah denganku?”

“Kenapa kau bertanya demikian?”

“Kenapa kau menangis di malam selarut ini?”

“Istriku sayang, kau perlu tahu, malam ini aku sudah menangis tiga kali, dan itu terjadi setiap aku melihat wajahmu yang sedang tidur.”

Mendengar jawaban suaminya Dewi menjadi bingung, ada apa dengan wajahnya. Bahkan ia berpikir bahwa jangan-jangan suaminya sebetulnya akhirnya menyadari bahwa ia salah menikahi dirinya.

“Suamiku, aku akan menerima apapun yang engkau putuskan seandainya engkau merasa bahwa dalam pernikahan kita ini engkau merasa tertipu. Namun aku ingin tahu apa yang menyebabkan engkau merasa tertipu?”

“Istriku sayang, air mataku bukan air kesedihan, bukan pula kekecewaan, melainkan air mata malu dan takut. Aku malu dan takut tidak bisa menjadi suami yang baik untukmu. Selain malu dan takut ini pun, juga air mata bahagia. Aku sangat bersyukur kepada Allah karena Ia telah menjawab do’aku yang aku minta semenjak 14 tahun silam, dan engkau adalah buktinya.”

Mendengar jawaban Faris, kekhawatiran Dewi berubah seketika menjadi sebuah kebahagiaan. Namun tetap saja membingungkan. 14 tahun lalu Faris dan Dewi belum saling kenal.

“Suamiku, aku akan berusaha menjadi istrimu yang menemani dan membantumu agar kapal yang kita arungi berada pada jalur yang benar, namun ada apa dengan 14 tahun silam?”

“Istriku sayang, engkau untukku adalah bukti 14 abad silam.”

“Suamiku, ada apa dengan 14 abad silam?” Dewi tambah tidak mengerti, belum juga dijawab tentang 14 tahun silam sekarang Faris mengatakan 14 abad silam.

Keningnya mengerut, pikirannya mencoba menerka. Penasarannya bertambah, namun sebelum mulutnya terbuka untuk bertanya lagi dia dikejutkan dengan sebuah pertanyaan.

“Istriku, takukah kamu surat An-Nur ayat 26?”



Padlil Syah
Pendidik untuk anak-anak Indonesia, Sabah-Malaysia
(di Humana Child Aid Society dan CLC Baturong)

sumber: klik disini

Tuesday, June 26, 2012

Artikel - Di manakah Allah SWT Berada? Ini Jawabannya

Assalamualaikum wr wb

Saya pernah ditanya teman, di manakah Allah? Saya jawab, Allah di atas ‘arsy atau di atas langit. Kemudian teman saya itu berkata, "Kamu salah karena kamu mengikuti akidah kufur kaum wahabi. Yang benar adalah Allah maujudun bilamakan (Allah ada dan tak bertempat).’’

Saya bingung Ustaz, karena saya dibilang sesat oleh teman tadi. Sebenarnya, Allah ada di mana? Terima kasih atas penjelasannya.

Fatimah, Jakarta

Waalaikumussalam wr wb

Di mana Allah berada? Pastinya hanya Allah sendiri Yang Maha Mengetahui di mana diri-Nya berada. Memang benar Allah tidak terikat dan terhukumi oleh ruang dan waktu. Di mana zat-Nya bersemayam tak seorang hamba pun yang dapat memastikannya.

Tapi, jika kita mau jujur secara ilmiah dan mau mengakui kekurangan, tidak sulit menemukan jawaban di manakah Allah berada. Imam asy-Syafi’i berkata: Berbicara tentang sunah yang menjadi pegangan saya, murid-murid saya, dan para ahli hadis yang saya lihat dan yang saya ambil ilmunya, seperti Sufyan, Malik, dan yang lain, adalah ikrar seraya bersaksi bahwa tidak ada ilah yang haq selain Allah, dan bahwa Muhammad itu adalah utusan Allah, serta bersaksi bahwa Allah itu di atas ‘arsy di langit dan dekat dengan makhluk-Nya.” (Kitab I’tiqad al-Imamil Arba’ah, bab 4).

Demikian juga, diyakini oleh para imam mazhab, yaitu Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi), dan Imam Ahmad Ibnu Hambal (Imam Hambali). Tentang hal ini, silakan merujuk pada kitab I’tiqad Al-Imamil Arba’ah karya Muhammad bin Abdirrahman al-Khumais.

Allah berada di ‘arsy dan ‘arsy-Nya di langit, sebagaimana digambarkan dalam ayat berikut: Allah Yang Maha Pemurah bersemayam di atas ‘arsy.’’ (QS Thaha: 5). Ayat tersebut begitu tegas menjelaskan bahwa Allah berada di ‘arsy.

Dalam ayat lain, dijelaskan pula bahwa zat Allah berada di langit. Apakah kamu merasa aman terhadap Zat yang di langit (yaitu Allah) kalau Dia hendak menjungkir-balikkan bumi beserta kamu sekalian sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang.’’ (QS al-Mulk: 16)

Juga dijelaskan dalam ayat ini: Malaikat-malaikat dan Jibril naik kepada Rabb-Nya dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.’’ (QS al-Ma’arij: 4). Ayat tersebut menggambarkan ketinggian zat Rabb.

Dalam hadis dijelaskan pula, Rasulullah bersabda: Setelah selesai menciptakan makhluk-Nya di atas ‘arsy, Allah menulis, ‘Sesungguhnya rahmat-Ku mendahului murka-Ku’.” (HR Bukhari-Muslim)

Ustaz Bachtiar Nasir

Sumber: klik disini

Mualaf- Ahmad Thomson: Tak yakin dengan Gereja, Maka Aku Memeluk Islam

Pria kelahiran Afrika ini dikenal sebagai pengacara terkemuka di Inggris. Ia juga mengetuai Wynne Chambers, badan hukum Islam yang didirikannya pada 1994.

Berislam 38 tahun lalu, Thomson meyakini cara terbaik mengamalkan ajaran Islam adalah memahami dan meneladani sumbernya, yakni Alquran dan sunnah Rasulullah saw. “Seperti pepatah yang mengatakan bahwa semakin dekat kita dengan sumber mata air, semakin murni air yang kita minum," ujar pemilik nama kecil Martin Thomson itu.

***

Dilahirkan di Rhodesia Utara (sekarang Zambia), Ahmad Thomson menempuh pendidikan dasar serta menengahnya di Rhodesia Selatan (sekarang Zimbabwe). Masa awal hidupnya ia lalui di daerah-daerah terpencil Afrika yang belum tersentuh peradaban modern kala itu; tanpa listrik, gas, dan saluran air bersih.

Lahir dan besar di Afrika, Thomson muda merasa tidak puas dengan ajaran Kristen. Ia mulai mempertanyakan banyak hal seperti, "Jika setiap manusia itu sama di hadapan Tuhan, lalu kenapa kaum Afrika kulit putih seperti dirinya harus beribadah di gereja yang berbeda dengan kaum kulit hitam?"

Pertanyaan lain yang kerap mengganggunya sebagai pemeluk Kristen adalah soal ketuhanan Yesus. "Jika Yesus adalah Tuhan, kepada siapa dahulu ia berdoa? Jika Yesus adalah Tuhan dan disalib, lalu siapa yang menghidupi surga dan dunia? Pertanyaan itu tak pernah terjawab selama aku memeluk ajaran Kristen," ujarnya lulusan Exeter University, England.

Ketika berusia 12 tahun, Thomson sampai pada satu titik di mana ia mempercayai Tuhan dan Yesus. "Hanya saja," katanya, "Aku tidak yakin dengan gereja.” Terhenti pada berbagai pertanyaan itu, Thomson mulai membaca apapun dan memikirkan kehidupan yang dijalaninya sejauh itu. Ia mengunjungi berbagai kelompok spiritual dan mencoba meditasi selama beberapa bulan. "Itu menenangkan, tapi sama sekali tak mengubah gaya hidupku."

Hingga akhirnya, Thomson bertemu Syeikh Abdalqadir as-Sufi (tokoh Tarbiyah, penggagas Gerakan Dunia "Murabitun"). Pertemuan itu menjadi awal perkenalannya dengan Islam, agama yang tak pernah terpikirkan oleh Thomson sebelumnya.

Saat berbicara dengan Syeikh Abdalqadir dan mendengarkan berbagai hal yang disampaikannya, Thomson merasa telah menemukan jalan menuju transformasi yang ia butuhkan. "Sejak itu, perlahan aku menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang memenuhi otakku," katanya. Thomson rutin mengunjungi pusat kajian Islam Syeikh Abdalqadir setelah itu. Ia juga membaca The Book of Stranger yang ditulis sang Syeikh.

Thomson mantap mengakhiri pencariannya pada 13 Agustus 1973. Ia mengikrarkan syahadat di hadapan Raja Mahmudabad, dan berhaji empat tahun kemudian. Pulang dari haji, Thomson menyelesaikan pelatihannya sebagai pengacara. Lalu, pada 26 Juli 1979, ia dipanggil ke Pengadilan England & Wales dan mulai meniti kariernya di bidang advokasi serta hukum Islam.

***

Thomson pertama kali memperoleh perhatian publik pada 2001, saat tampil dalam sebuah film dokumenter berjudul My Name is Ahmed yang memenangkan sebuah penghargaan, dan juga Prince Naseem's Guide to Islam. Keduanya ditayangkan di BBC2 pada Agustus 2001. Setelah itu, wajahnya kerap mewarnai layar kaca dalam berbagai program, terutama program-program Islam.

Tahun 2002, Thomson membuat pernyataan lisan dan tertulis kepada majelis pemimpin Komite Pelanggaran Agama. Ia menegaskan bahwa kelompok-kelompok agama seperti Yahudi, Kristen, Muslim, Hindu, Budha, dan Sikh harus memperoleh hak dan perlindungan yang sama di bawah hukum Inggris.

Di antara aktivitas yang dijalaninya kini adalah memberikan ceramah rutin tentang Islam di berbagai wilayah Inggris. Ia juga menulis secara teratur untuk Al-Karam Journal dan menjadi salah seorang kontributor tetap dalam konferensi lintasagama yang digelar setiap tahun di Masjid Regents Park dan Pusat Kebudayaan Islam Inggris.

Sumber : Klik Disini

Saturday, June 23, 2012

Tiga Bulan Tidak Mampu Memandang Wajah Suami


Perkawinan itu telah berjalan empat tahun, namun pasangan suami istri itu belum dikaruniai seorang anak. Dan mulailah kanan kiri berbisik-bisik: "kok belum punya anak juga ya, masalahnya di siapa ya? Suaminya atau istrinya ya?". Dari berbisik-bisik, akhirnya menjadi berisik.

Tanpa sepengetahuan siapa pun, suami istri itu pergi ke salah seorang dokter untuk konsultasi, dan melakukan pemeriksaaan. Hasil lab mengatakan bahwa sang istri adalah seorang wanita yang mandul, sementara sang suami tidak ada masalah apa pun dan tidak ada harapan bagi sang istri untuk sembuh dalam arti tidak peluang baginya untuk hamil dan mempunyai anak.Melihat hasil seperti itu, sang suami mengucapkan: inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, lalu menyambungnya
dengan ucapan: Alhamdulillah.

Sang suami seorang diri memasuki ruang dokter dengan membawa hasil lab dan sama sekali tidak memberitahu istrinya dan membiarkan sang istri menunggu di ruang tunggu perempuan yang terpisah dari kaum laki-laki.Sang suami berkata kepada sang dokter: "Saya akan panggil istri saya untuk masuk ruangan, akan tetapi, tolong, nanti anda jelaskan kepada istri saya bahwa masalahnya ada di saya, sementara dia tidak ada masalah apa-apa.Kontan saja sang dokter menolak dan terheran-heran.

Akan tetapi sang suami terus memaksa sang dokter, akhirnya sang dokter setuju untuk mengatakan kepada sang istri bahwa masalah tidak datangnya keturunan ada pada sang suami dan bukan ada pada sang istri.Sang suami memanggil sang istri yang telah lama menunggunya, dan tampak pada wajahnya kesedihan dan kemuraman. Lalu bersama sang istri ia memasuki ruang dokter. Maka sang dokter membuka amplop hasil lab, lalu membaca dan mentelaahnya, dan kemudian ia berkata: "… Oooh, kamu –wahai fulan- yang mandul, sementara istrimu tidak ada masalah, dan tidak ada harapan bagimu untuk sembuh.Mendengar pengumuman sang dokter, sang suami berkata: inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, dan terlihat pada raut wajahnya wajah seseorang yang menyerah kepada qadha dan qadar Allah SWT.

Lalu pasangan suami istri itu pulang ke rumahnya, dan secara perlahan namun pasti, tersebarlah berita tentang rahasia tersebut ke para tetangga, kerabat dan sanak saudara.Lima (5) tahun berlalu dari peristiwa tersebut dan sepasang suami istri bersabar, sampai akhirnya datanglah detik-detik yang sangat menegangkan, di mana sang istri berkata kepada suaminya: "Wahai fulan, saya telah bersabar selama Sembilan (9) tahun, saya tahan-tahan untuk bersabar dan tidak meminta cerai darimu, dan selama ini semua orang berkata:" betapa baik dan shalihah-nya sang istri itu yang terus setia mendampingi suaminya selama Sembilan tahun, padahal dia tahu kalau dari suaminya, ia tidak akan memperoleh keturunan".

Namun, sekarang rasanya saya sudah tidak bisa bersabar lagi, saya ingin agar engkau segera menceraikan saya, agar saya bisa menikah dengan lelaki lain dan mempunyai keturunan darinya, sehingga saya bisa melihat anak-anakku, menimangnya dan mengasuhnya.Mendengar emosi sang istri yang memuncak, sang suami berkata: "istriku, ini cobaan dari Allah SWT, kita mesti bersabar, kita mesti …, mesti … dan mesti …". Singkatnya, bagi sang istri, suaminya malah berceramah dihadapannya.Akhirnya sang istri berkata: "OK, saya akan tahan kesabaranku satu tahun lagi, ingat, hanya satu tahun, tidak lebih".Sang suami setuju, dan dalam dirinya, dipenuhi harapan besar, semoga Allah SWT memberi jalan keluar yang terbaik bagi keduanya.

Beberapa hari kemudian, tiba-tiba sang istri jatuh sakit, dan hasil lab mengatakan bahwa sang istri mengalami gagal ginjal.Mendengar keterangan tersebut, jatuhnya psikologis sang istri, dan mulailah memuncak emosinya. Ia berkata kepada suaminya: "Semua ini gara-gara kamu, selama ini aku menahan kesabaranku, dan jadilah sekarang aku seperti ini, kenapa selama ini kamu tidak segera menceraikan saya, saya kan ingin punya anak, saya ingin memomong dan menimang bayi, saya kan … saya kan …".Sang istri pun bed rest di rumah sakit.

Di saat yang genting itu, tiba-tiba suaminya berkata: "Maaf, saya ada tugas
keluar negeri, dan saya berharap semoga engkau baik-baik saja"."Haah, pergi?". Kata sang istri."Ya, saya akan pergi karena tugas dan sekalian mencari donatur ginjal, semoga dapat". Kata sang suami.Sehari sebelum operasi, datanglah sang donatur ke tempat pembaringan sang istri.

Maka disepakatilah bahwa besok akan dilakukan operasi pemasangan ginjal dari sang donatur.Saat itu sang istri teringat suaminya yang pergi, ia berkata dalam dirinya: "Suami apa an dia itu, istrinya operasi, eh dia malah pergi meninggalkan diriku terkapar dalam ruang bedah operasi".Operasi berhasil dengan sangat baik. Setelah satu pekan, suaminya datang, dan tampaklah pada wajahnya tanda-tanda orang yang kelelahan.Ketahuilah bahwa sang donatur itu tidak ada lain orang melainkan sang suami itu sendiri. Ya, suaminya telah menghibahkan satu ginjalnya untuk istrinya, tanpa sepengetahuan sang istri, tetangga dan siapa pun selain dokter yang dipesannya agar menutup rapat rahasia tersebut.

Dan subhanallah …Setelah Sembilan (9) bulan dari operasi itu, sang istri
melahirkan anak. Maka bergembiralah suami istri tersebut, keluarga besar dan para tetangga.Suasana rumah tangga kembali normal, dan sang suami telah menyelesaikan studi S2 dan S3-nya di sebuah fakultas syari'ah dan telah bekerja sebagai seorang panitera di sebuah pengadilan di Jeddah. Ia pun telah menyelesaikan hafalan Al-Qur'an dan mendapatkan sanad dengan riwayat Hafs, dari `Ashim.Pada suatu hari, sang suami ada tugas dinas jauh, dan ia lupa menyimpan buku hariannya dari atas meja, buku harian yang selama ini ia sembunyikan.

Dan tanpa sengaja, sang istri mendapatkan buku harian tersebut, membuka-bukanya dan membacanya.Hamper saja ia terjatuh pingsan saat menemukan rahasia tentang diri dan rumah tangganya. Ia menangis meraung-raung. Setelah agak reda, ia menelpon suaminya, dan menangis sejadi-jadinya, ia berkali-kali mengulang permohonan maaf dari suaminya. Sang suami hanya dapat membalas suara telpon istrinya dengan menangis pula.

Dan setelah peristiwa tersebut, selama tiga bulanan, sang istri tidak berani
menatap wajah suaminya. Jika ada keperluan, ia berbicara dengan menundukkan mukanya, tidak ada kekuatan untuk memandangnya sama sekali.

(Diterjemahkan dari kisah yang dituturkan oleh teman tokoh cerita ini, yang kemudian ia tulis dalam email dan disebarkan kepada kawan-kawannya)

sumber: klik disini

Wednesday, June 20, 2012

Artikel - Inilah Persinggahan Rasulullah dalam Isra Mi'raj

Isra Mi’raj merupakan peristiwa terbesar dalam sejarah manusia ketika seorang manusia dipertemukan dengan Penciptanya secara langsung. Peristiwa ini hanya dianugerahkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW.

Mengendarai tunggangan khusus yang disebut buraq, Rasulullah didampingi Malaikat Jibril berangkat dari Makkah menuju Masjidil Aqsha. Seperti termaktub dalam Hadis yang diriwayatkan Imam Nasa’i, dalam perjalanan menuju Masjidil Aqsha, Rasulullah SAW sempat singgah di sejumlah tempat. Seperti Madinah, Bukit Thursina, kemudian singgah di Bethlehem, dan selanjutnya menuju Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha).

Rasul SAW sempat berjumpa dengan sejumlah nabi di Masjid al- Aqsha. Selanjutnya, Rasul melanjutkan perjalanan menuju Sidratul Muntaha, untuk menerima perintah shalat lima waktu.

Bukit Thursina
Hampir semua ahli tafsir sepakat, Bukit Thursina adalah bukit saat Musa menerima wahyu dari Allah. Mereka pun meyakini bahwa Bukit Thursina sebagaimana disebutkan dalam surah at-Tin ayat 1-3 ber ada di wilayah Mesir yang lokasinya berada di Gunung Munajah, di sisi Gunung Musa. Lokasi ini dikaitkan dengan keberadaan Semenanjung Sinai. Pendapat ini didukung oleh Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fi Zhilal al-Qur’an. Menurut Quthb, Thursina atau Sinai itu adalah gunung tempat Musa dipanggil berdialog dengan Allah SWT.

Baitul Maqdis
Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha) yang berada di Kota Yerusalem (Al-Quds) memiliki arti sangat penting bagi umat Islam. Selain menjadi tempat singgah Rasullah dalam Isra Mi’raj, Baitul Maqdis pernah menjadi kiblat shalat umat Islam sebelum kiblat dipindahkan ke Ka’bah.

Baitul Maqdis memiliki sejarah panjang. Konon, kompleks peribadatan ini sudah ada jauh sebelum datangnya Nabi Sulaiman AS. Dalam perkembangannya, Sulaiman meneruskan pembangunannya sekaligusmenambahkan bangunan Kuil Sulaiman. Di kemudian hari, kuil ini dihancurkan oleh bala tentara Babilonia.

Bethlehem
Berada di wilayah Palestina, Bethlehem (Baitullahmi) merupakan kota budaya dan wisata, khususnya wisata rohani. Secara geografis, Bethlehem terletak sekitar 10 km sebelah selatan Yerusalem. Berada pada ketinggian 765 meter dpl, Bethlehem dikelilingi perbukitan yang membentang ke arah Gurun Yudea. Sejarah mencatat, kota ini telah dihuni manusia sejak 3.000 tahun sebelum Masehi. Orang-orang Kanaan adalah kelompok manusia yang diyakini menjadi penduduk pertama Bethlehem.

Doa yang tak Didengar


Oleh: Habib Nabiel al-Musawa

Ada satu doa Nabi Muhammad SAW yang amat indah. “Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari hati yang tidak khusyuk, dan dari ilmu yang tidak bermanfaat, dan dari nafsu yang tidak pernah kenyang serta dari doa yang tidak lagi didengar.” ( Jami’us Shaghir, hadis sahih).

Doa ini singkat, padat, tetapi maknanya amatlah mendalam. Hadis ini mengupas tuntas empat pangkal masalah utama manusia. Masalah yang pertama dan utama adalah jika hatinya sudah tidak bisa lagi khusyuk sehingga tak ada lagi rasa takut kepada Allah SWT. Maka itu, amaliah ibadahnya menjadi rutinitas yang menjemukan dan kering tanpa kenikmatan ibadah.

Jika kondisi ini sudah menguasainya, ia akan dikenai penyakit berikutnya, yaitu ilmunya menjadi tidak lagi bermanfaat bagi akhiratnya. Semua cara akan dikerahkan untuk menghalalkan segala cara demi mencapai tujuannya, yakni dunia semata. Lalu, jika ia sudah dihinggapi penyakit kedua tersebut, jika dibiarkan, ia akan melangkah pada stadium ketiga, yaitu nafsu yang tidak akan bisa kenyang, tak pernah mengenal puas, apa pun akan diterabas demi memuas kan keinginan hawa nafsunya.

Dan, jika ia telah mengalami tingkat ini, ia akan terkena stadium terakhir yang mematikan, yakni doanya tak lagi didengar oleh Allah. Jika ini yang terjadi, mau tinggal di mana lagi kita ini. Bumi mana yang akan kita injak, langit mana tempat kita berteduh, jika doa kita sudah tidak lagi didengar oleh Allah SWT?

Manusia semacam ini persis seperti yang digambarkan oleh Allah SWT: “Atau, seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-menindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barang siapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.” (QS an-Nuur: 40).

Melalui momen peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW ini, saya menasihati diri saya sendiri dan kita sekalian untuk selalu merasa takut kepada Allah SWT dari kemaksiatan. Jika beribadah, lakukanlah dengan khusyuk, teteskan air mata saat menghadap Allah, karena dari-Nya kita berasal dan kepada-Nya kita akan kembali.

Kita berharap, ilmu yang dimiliki dapat menjadi cahaya yang selalu menuntun kita pada kebenaran, menjauhi kemaksiatan dan kemungkaran, agar doa kita layak di dengar dan dikabulkan Allah SWT. “Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar.

Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakanakan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat-(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS an-Nuur:35). Wallahu a’lam.

Wednesday, June 6, 2012

Radio Da'wah Al Hidayah Solo

 

Radio Da'wah HIMMAH FM Yaman

 

Dahsyatnya Menyantuni Anak Yatim

Allah dan Rasul-Nya begitu memuliakan anak yatim. Mereka merupakan generasi penerus yang sangat potensial, yang bisa menjadi generasi yang dibanggakan di masa mendatang.
Santunilah mereka, niscaya tak hanya masa depan mereka yang menjadi cerah, tetapi juga kebahagiaan hakiki para penyantun yang diberikan oleh Allah SWT, baik di dunia maupun di akhirat.

Buku ini tak hanya menyajikan cara menyantuni anak yatim dan keajaiban yang akan diraihnya, tetapi juga berisi kisah-kisah penuh hikmah dari anak yatim yang menggugah hati. Selain itu, penulis juga memaparkan daftar yayasan dan lembaga yang menaungi para anak yatim.

Silahkan miliki buku ini dan ketikkan nama judul bukunya " Dahsyatnya Menyantuni Anak Yatim "
Lihat detail buku ini klik disini

Kisah Orang-Orang yang Diampuni

Suatu ketika, Ka’ab bin Malik dan dua sahabat Nabi tidak mengikuti Perang Tabuk tanpa alasan yang jelas. Nabi Saw. pun melarang para sahabat untuk berkomunikasi dengan Ka’ab. Semakin lama,Ka’ab semakin terasing dari lingkaran nabi dan sahabat Nabi. Dalam kondisi seperti itu, orang-orang kafir mulai menawarkan kedudukan kepada Ka’ab dan sahabat tersebut bila mereka mau berpaling dari islam. Namun, tak sedikitpun tawaran itu menggeser akidah mereka. Hari-hari terus berlalu, Ka’ab dan sahabat tersebut tetap diasingkan. Di hari keempat puluh, Nabi bahkan memerintahkan agar mereka berpisah dengan istri mereka.

Hingga hari ke limapuluh, Nabi menyampaikan kabar gembira bahwa taubat mereka diterima melalui firman Allah Ta’ala yang diabadikan dalam al-Qur’an Surat at-Taubah ayat 118. Buku ini berisi kisah nyata tentang kegigihan dan kesungguhan bertaubat. Selain menggugah hati dan memotivasi jiwa, kisah-kisah dalam buku ini juga mengajarkan kepada kita bahwa betapa pun besarnya dosa kita, pintu taubat selalu terbuka.

Silahkan miliki buku ini dan ketikkan nama judul bukunya " Kisah Orang-Orang yang Diampuni "
Lihat detail buku ini klik disini

Kabar Gembira bagi Pendosa

Oleh Musa Khazim , Alfian Hamzaha

T
uhan berfirman, “Wahai Daud, sampaikanlah kabar gembira kepada para pelaku dosa dan peringatkanlah para pelaku kesalehan.” Daud terheran-heran mendengar firman itu. “Bagaimana aku akan menyampaikan kabar gembira kepada para pelaku dosa dan memperingatkan para pelaku kesalehan?” Katanya kemudian. Allah menjawab, “Sampaikanlah kabar gembira bagi para pelaku dosa bahwa Aku menerima tobat mereka dan peringatkanlah orang-orang saleh agar mereka tidak memiliki sifat ujub atas perbuatan-perbuatan mereka. Karena, sungguh, tidak ada seorang hamba pun akan selamat jika Aku mengadili perbuatan-perbuatan mereka.”

Buku ini akan memberi Anda resep ampuh memiliki kerelaan dan kesiapan menghadapi pasang surut kehidupan. Baca dan resapilah doa Nabi Khidr as., doa ini sanggup membawa Anda pada keyakinan bahwa Allah itu dekat dan bersahabat. Inilah energi ketuhanan yang akan memberi Anda kekuatan untuk menggapai kemuliaan dunia dan akhirat.

Silahkan miliki buku ini dan ketikkan nama judul bukunya " Kabar Gembira bagi Pendosa "
Lihat detail buku ini klik disini

Tuesday, June 5, 2012

Artikel - Ingin Hidup Bahagia? Inilah Resepnya

Oleh: Prof Yunahar Ilyas

Siang itu terasa terik sekali. Beberapa mahasiswa nongkrong di bawah sebuah pohon kayu yang rindang dekat parkiran. Tiba-tiba mata mereka tertuju pada sebuah mobil mewah yang me laju cepat menuju parkiran.

Dengan tergesa-gesa seorang ibu muda keluar dari mobil itu dan langsung berteriak, “Tolong ... saya ingin bunuh diri, tapi tidak berani!” Kalau tidak menjaga perasaan ibu muda tersebut, para mahasiswa sudah pasti tertawa mendengar teriakan lucu itu.

Dengan cepat beberapa mahasiswa itu berunding. Seorang di antara mereka meng usulkan, “Ayo kita bawa saja menemui Pak Ahmad!” Yang mereka sebut Pak Ahmad itu adalah wakil rektor bidang ke mahasiswaan. Para mahasiswa sudah akrab dengan Pak Ahmad. Beliau seorang doktor psikologi dan juga dikenal sebagai ustaz. Mereka pun segera membawa ibu yang stres itu menemui Pak Ahmad.

Alhamdulillah, Pak Ahmad berada di tempat. Terjadilah dialog antara Pak Ahmad dan ibu muda tersebut. “Mengapa ingin bunuh diri, Bu,” tanya Pak Ahmad. “Sudah seminggu suami tidak mau bertegur sapa dengan saya, Ustaz,” ujar nya. “Sudah berapa lama Ibu menikah?” selidik Pak Ahmad. “Tujuh tahun,” jawabnya.

“Selama tujuh tahun menikah itu, apakah suami Ibu sering tidak menegur Ibu?” tanya Pak Ahmad. Ibu itu menjawab, “Tidak Pak. Selama ini hubungan kami baik-baik saja. Baru sekali ini suami tidak mau ber tegur sapa dengan saya.”

Atas hal itu, Pak Ahmad menyampaikan bahwa ibu itu patut bersyukur karena hubungan antara dia dan suaminya baik-baik saja dan baru seminggu ini mendapat cobaan. Pak Ahmad pun mengajak ibu itu untuk membandingkan nasibnya dengan ibu-ibu lainnya yang kurang beruntung. Seperti adanya ibu-ibu yang lahir batin menderita, tidak diberi nafkah yang cukup, dan diperlakukan secara kasar oleh suaminya. Ibu itu pun akhirnya tersadar dan mampu menenangkan diri. Ia juga rajin berkonsultasi untuk meminta nasihat kepada Pak Ahmad.

Pada suatu kesempatan konsultasi, ibu muda itu menanyakan mengapa materi yang berlimpah tidak membuat seseorang bahagia. Pak Ahmad bertanya, “Apakah Ibu sudah berusaha mencari kebahagiaan itu?” Sebelum ibu itu menjawab, Pak Ahmad bertanya lagi, “Di mana Ibu cari kebahagiaan itu?”

Lebih lanjut Pak Ahmad menjelaskan, “Ibu tidak akan bisa mendapatkan kebahagiaan dengan mencari kebahagiaan. Ibu akan mendapatkan kebahagiaan apabila Ibu membagi kebahagiaan kepada orang lain.” Mendapat jawaban itu, ibu tersebut bertanya lagi, “Bagaimana kita bisa membagi kebahagiaan kepada orang lain kalau kita sendiri tidak pernah merasa bahagia.”

Pak Ahmad menjelaskan maksudnya. “Pergilah Ibu berkunjung ke rumah-rumah orang miskin yang lapar. Bawa makanan yang enak-enak, bagikan kepada mereka secara langsung. Ibu saksikan betapa bahagianya mereka menikmati makanan yang ibu bawa. Saat itulah Ibu telah membagi kebahagiaan kepada orang-orang miskin itu. Kebahagiaan me reka akan berpindah kepa da Ibu.” Karena itu, bahagiakanlah orang lain, niscaya kebahagiaan juga akan menyertai kita semua. Insya Allah.

(republika.co.id/moslembrothers.com)

Artikel - Bisakah Kita Membalas Kebaikan Ibu? Inilah Jawaban Islam

Oleh: Imam Nur Suharno

Suatu hari, Ibnu Umar melihat seseorang yang sedang menggendong ibunya sambil thawaf mengelilingi Ka’bah. Orang tersebut lantas berkata kepadanya, “Wahai Ibnu Umar, menurut pendapatmu apakah aku sudah membalas kebaikan ibuku?”

Ibnu Umar menjawab, “Belum, meskipun sekadar satu erangan ibumu ketika melahirkanmu. Akan tetapi engkau sudah berbuat baik. Allah akan memberikan balasan yang banyak kepadamu terhadap sedikit amal yang engkau lakukan.” (Kitab al-Kabair karya adz-Dzahabi).

Kisah di atas memberikan pelajaran berharga kepada kita bahwa setiap anak tidak akan dapat membalas jasa orang tuanya, kecuali ia menemukan orang tuanya sebagai budak, lalu dibeli dan dimerdekakan. (HR Muslim). Dalam hadis lain, “Berbuat baik kepada kedua orang tua itu lebih utama daripada shalat, sedekah, puasa, haji, umrah, dan berjihad di jalan Allah.” (HR Thabrani).

Apakah masih ada kewajiban berbuat baik kepada orang tua setelah keduanya wafat? Sabda Nabi SAW, “Masih, yaitu mendoakannya, memohonkan ampunan untuknya, menunaikan janjinya, memuliakan temannya, dan menyambung hubungan kerabat yang tidak tersambung kecuali dengannya.” (HR Abu Dawud, Ibnu Hibban, dan al-Hakim).

Sejarah mencatat, banyak orang hebat yang lahir dari seorang ibu yang juga hebat. Kita tidak akan dapat menjadi hebat seperti sekarang tanpa sentuhan darinya. Maka, tak berlebihan jika ada ungkapan, Al-Jannatu tahta aqdami al-ummahat”, surga berada di bawah telapak kaki ibu.

Karena itu, ketika seorang laki-laki berhijrah dari Yaman kepada Nabi SAW dan ingin berjihad. Kemudian, Nabi SAW bertanya, “Apakah di Yaman masih ada kedua orang tuamu?”

“Masih ya Rasulullah” jawab laki-laki itu.

Nabi SAW bersabda, “Kembalilah kepada kedua orang tuamu dan mintalah izin darinya. Jika keduanya memberi izin maka engkau boleh berjihad dan jika keduanya tidak mengizinkan maka berbuat baiklah kepadanya, karena hal itu merupakan sesuatu yang paling baik yang engkau bawa untuk bertemu dengan Allah setelah tauhid.” (HR Ahmad dan Ibnu Hibban).

Lalu, datang laki-laki lain kepada Nabi SAW meminta baiat untuk berangkat hijrah. Ia berkata, “Aku datang kepadamu, sehingga membuat kedua orang tuaku menangis.”

Kemudian Nabi SAW bersabda, “Kembalilah kepada keduanya dan buatlah keduanya tertawa, sebagaimana engkau telah membuat keduanya menangis.” (HR Abu Dawud, Nasa’i, dan al-Hakim).

Ibu memiliki peran yang tak dapat digantikan oleh siapa pun. Dialah yang mencetak generasi unggul. Maka, tidaklah berlebihan jika seorang penyair mengungkapkan, Al-Ummu madrasatun, in a’dadtahaa a’dadta sya’ban thayyiba al-a’raaqi. Ibu itu ibarat sebuah sekolah, apabila kamu persiapkan dengan baik, berarti kamu telah mempersiapkan suatu bangsa dengan dasar yang baik.

Dalam hadis lain, Rasul SAW menempatkan ibu sebagai orang yang paling utama untuk dihormati. Beliau memerintahkan umatnya untuk senantiasa memuliakan ibunya, kemudian menyayangi ibunya. Setelah itu, barulah bapak. Wallahu a’lam.


(republika.co.id/moslembrothers.com)

Artikel - Doa dan Air Mata

Oleh Ustaz Toto Tasmara

Perhatikan dengan hati paling bening. Betapa kita jarang menyatakan kerinduan cinta kepada Sang Khaliq dengan rintihan dan air mata. Hari-hari dipenuhi dengan kesenangan dan hura-hura. Hidup seakan tak menemukan wajah sejatinya karena didera tawa yang menutup bashirah (mata batinnya) untuk menatap wajah Ilahi. Padahal, sungguh pada setiap desah napas adalah untaian langkah perjalanan menuju hari akhir.

Teringatlah kita akan sikap mahabbah penuh cinta para perindu Ilahi. Siang hari, ia mengepakkan sayap kehidupannya dengan penuh marhamah (kasih sayang), bagaikan singa jantan ia menunddukan dunianya. Tetapi, bila kelambu malam menyelimuti dirinya, ia pun meneteskan air mata, merintih penuh harap dan takut, bagaikan anak kucing yang merindu dalam dekapan induknya.

Alangkah indahnya tetesan air mata yang merembes dari kelopak mata karena takut, cemas, dan penuh harap ke hadirat Ilahi. Sejatinya, memang tangisan itu adalah bahasa batin. Ungkapan kalimat yang tidak mungkin diungkapkan dan diartikulasikan sepenuhnya dengan bahasa lisan. Allah berfirman, "Dan sujudlah mereka sambil menangis, dan bertambah khusyuk." (QS al-Isra’ [17]: 109).

Tangisan yang muncul karena takut kepada Allah, akan menambah rasa khusyuk dan keyakinan bahwa dia akan terbebaskan dari beban yang berat di dunia dan di akhirat. Rasulullah SAW telah bersabda, “Tidak akan masuk ke dalam neraka seorang yang pernah menangis karena takut kepada Allah.” (HR Tirmidzi dalam Riyaduh Shalihin, I/393).

Rasulullah SAW tidak hanya berkata-kata tentang betapa pentingnya menangis, tetapi beliau pun memberikan contoh kemuliaan akhlaknya dengan menunjukkan sikapnya bahwa menangis itu memang dibutuhkan. Ketika shalat dan berdoa, Rasul khusyuk dan tenggelam dalam kerinduan kepada Allah disertai dengan isak tangis yang merintih.

Imam Abu Dawud meriwayatkan, “Saya datang kepada Nabi SAW, sedangkan beliau melaksanakan shalat, maka terdengar napas tangisannya bagaikan suara air mendidih dalam bejana.” (HR Abu Daud dari Abdullah bin as-Sykhir RA dalam Riyadus Shalihin, I/394).

Hal serupa juga ditunjukkan Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah. Ali berkata, “Tetesan air mata dan ketakutan hati adalah bagian dari rahmat Allah saat berzikir kepada-Nya. Jika kamu mendapatkan kondisi ini, sampaikan doamu. Dan sekiranya ada seorang hamba dalam umat ini menangis, niscaya Allah SWT menyayangi umat itu karena zikirnya yang disertai tangisan.” (Biharul Anwar, 93: 336).

Menangislah dengan deraian air mata. Ia sangat diperlukan untuk menundukkan hati dan jiwa yang kaku karena tak pernah merasa takut kepada Allah. Menangislah, karena tangisanmu akan membawamu pada perasaan yang halus dan peka pada kehidupan.

Karena itu, saudaraku, iringilah doa-doamu dengan air mata. Adukan suka-dukamu kepada Allah dengan wajah basah dan hati gerimis. Karena sesungguhnya, di setiap tetes air matamu akan ada ijabah Ilahiyah yang tersenyum. Wallahu a’lam.
(republika.co.id/moslembrothers.com)


Artikel - Optimalisasi Kesabaran

Oleh: Dr H Dindin Jamaluddin MAg

Sebagai umat Islam, kita harus senantiasa menjaga dan meningkatkan keimanan. Salah satunya adalah dengan memelihara dan mengoptimalkan kesabaran. Dalam Alquran, Allah menegaskan, kesabaran akan senantiasa menolong dan menjadi solusi atas berbagai persoalan. Bahkan, Allah akan senantiasa bersama orang-orang yang sabar. (QS al-Anfal [8]: 66).

Ayat di atas mengindikasikan bagaimana kesabaran harus dimaknai sebagai sebuah proses aktif menanggulangi permasalahan yang menimpa. Dalam perspektif Islam, musibah diinisiasi oleh dua hal.

Pertama, musibah muncul akibat kesalahan manusia pada Allah. Musibah seperti ini dimaknai sebagai teguran Allah. Kedua, musibah lahir karena kita tengah menghadapi ujian. Tujuannya, untuk menaikkan derajat keimanan. Kesabaran yang ditopang oleh semangat keimanan, niscaya akan mampu meminimalkan tindakan destruktif.

Hazrat Inayat Khan mengatakan, kenikmatan dan kenyamanan hidup dapat menghalangi munculnya inspirasi dan ilham. Sebaliknya, rintangan dan cobaan (musibah) justru dapat membantu setiap orang memunculkan solusi.

Pun begitu dengan cobaan yang kita hadapi saat ini. Baik itu soal kemiskinan, merebaknya kasus korupsi, hingga bencana kemanusiaan. Ketika semua itu menimpa kita, penting dihadapi dengan kesabaran. Makna kesabaran, tidak hanya pasrah sumerah pada keadaan atau menerima kondisi apa adanya, tetapi dengan kesabaran itu kita berupaya menghidupkan semangat untuk keluar dari keadaan yang sedang menghimpit.

Dalam surah al-Anfal [8] ayat 66, Allah SWT menginformasikan bahwa di dalam kesabaran terkandung kekuatan transformatif bila kita lapang dada menyikapi kehidupan yang terjadi.

Bagi orang-orang yang sabar, ketika bencana kekeringan dan gempa menimpa, misalnya, dia tidak larut dalam kesedihan berkepanjangan tanpa melakukan usaha keluar dari musibah tersebut. Ketika kekurangan harta menjadi persoalan signifikan bagi pendidikan anaknya, hal itu tidak lantas mematikan semangat dirinya untuk terus berusaha.
Kekuatan usaha inilah yang menjadi sumber dasar dari Islam. Term usaha lebih dekat dengan konsep “amaliyah” dalam Islam, yang menyatukan antara ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik yang tecermin dalam perbuatan.

Bagi seorang Muslim sejati, musibah dipahami sebagai ujian yang wajib dilalui untuk mengokohkan keimanan pada-Nya. Kerangka paradigmatik ubûdiyah digunakan untuk melewati cobaan Ilahi. (QS al-Ankabut [29]: 2).

Tonggak awal perubahan hidup diawali dari seberapa piawai kita keluar dari impitan masalah, sehingga menerpanya menjadi individu taat, takwa, sabar, dan tawakkal. Dengan hal inilah umat akan lebih bijaksana menyikapi aneka musibah yang seolah tak pernah berhenti menguji keimanan.

Merintih, meratap, dan terus larut dalam kekesalan tanpa berusaha bukanlah hakikat kesabaran. Al-shabru, ialah sebuah kerangka ketabahan jiwa yang menyertakan optimalisasi perbuatan aktif, sehingga terjadi perubahan hidupnya. Wallahu a’lam.

Artikel - Tahajud Cinta

Oleh Ustaz Toto Tasmara

Rasulullah SAW adalah manusia yang tak pernah meninggalkan shalat malam. Diriwayatkan dari Abdullah bin Abi Qois, ia berkata, “Aisyah RA berkata kepadaku, ‘Janganlah engkau meninggalkan shalat malam sebab Rasulullah SAW tidak pernah meninggalkannya. Apabila sakit atau lelah, beliau shalat dengan duduk.” (HR Abu Dawud).

Suatu saat orang-orang di Madinah ingin melihat wajah sejuk Rasulullah dan menyaksikan sosok manusia yang tidak pernah berdusta sepanjang hidupnya. Setelah mereka berkumpul, Rasulullah menyampaikan pesan kepada orang yang hadir. “Wahai manusia, sebarkanlah salam, berilah makan orang yang fakir, sambungkanlah tali persaudaraan, dan shalatlah pada malam hari ketika orang-orang tidur lelap agar kalian masuk surga dengan selamat.” (HR Tirmidzi).

Bagi orang-orang yang haus akan dahaga menggapai rida Ilahi, yang rindunya tak terperikan mengharap taman surgawi, shalat tahajud seakan sebuah kewajiban. Karena mereka mengartikannya sebagai sebuah perintah. “Dan pada sebagian malam, bertahajudlah sebagai ibadah tambahan bagimu, semoga Tuhanmu akan mengangkat ke tempat terpuji.” (QS [17]: 79).

Tiada kelezatan melaksanakan shalat malam kecuali Allah akan menempatkan diri manusia di tempat mulia (maqamam mahmuda). Para penempuh jalan kemuliaan itu, bangun pada sepertiga malam sampai menjelang fajar untuk menumpahkan hasratnya beraudiensi dan bertatap batin dengan Allah SWT.

Ketika tengah malam pekat membuai lelap, seakan mereka merintihkan segala harapan, seraya berharap petunjuk Allah. “Wahai Ilahi, Engkaulah pelita yang menerangi hamba-hamba yang tersesat di lembah kegelapan. Engkaulah petunjuk para musafir yang tersesat di padang pasir. Engkaulah mutiara yang tersembunyi dan terus kuselami, betapa pun ombak gelombang menggulung dan mengempas tubuhku. Inilah air mataku yang memburai dari hatiku yang basah. Setiap tetesan air mataku adalah harap cemas, penyesalan tiada tara akan dosa-dosaku, dan berharap akan maghfirah (ampunan)-Mu.”

Dalam tahajud, tidak ada lagi permohonan yang mendunia, tetapi yang ada hanyalah desah rindu untuk berjumpa dengan Allah semata (liqa'a li robbihi). Cinta telah memikat hati mereka untuk terbang membubung mencari Sang Pemilik Cinta. Jiwanya melayang menjulang bagaikan serpihan kapas tertiup angin pagi diiringi petikan dawai halus yang mendendangkan hasrat kerinduan tak terperikan, seraya berkata, “Wahai Tuhanku, Engkaulah segala akhir dari tujuanku, Engkaulah yang selalu kurindu dalam pencarianku.”

Cinta mereka yang makrifat telah merenggut seluruh perhatiannya hanya kepada Allah sehingga tidak lagi ada ruang kosong untuk dendam dan benci. Cinta tak mengenal itu semua, yang ia kenal hanya memberi, bukan meminta. Betapa pun rombongan dendam dan benci berkendaraan emas kencana, merayu mampir barang sejenak. Akan aku katakan kepada mereka, "Wahai musafir yang tersesat, kamar-kamar di hatiku telah penuh oleh tamu-tamu cinta. Tidak mungkin aku mengusirnya karena mereka akan tinggal sepanjang hidupku.”