Saturday, March 30, 2013

Jeewan Chanicka : Islam Membuatku Paham Tujuan Hidup

Apa tujuan hidup setiap manusia. Pertanyaan itu selalu mengemuka dalam pikiran Jeewan Chanicka. "Tuhan tidak mungkin menciptakan manusia hanya untuk mengisi seluruh penjuru bumi," kenang dia, seperti dikutip onislam.net. Selasa (26/3).

Dari pertanyaan itu, Chanicka berusaha keras untuk mencari jawaban. Pencarian itu dimulainya melalui dalam dirinya. Selanjutnya, ia tanya orang-orang di sekitarnya.

Dari sekian banyak pertanyaan, satu jawaban mengemuka, setiap orang memiliki jawabannya sendiri. Kesimpulan itu semakin memotivasinya untuk lebih memahami apa yang dilakukan setiap individu.

Itu pula yang mendorongnya menjalani pencarian spiritual di usianya yang sangat muda. "Saya ingat, perjalanan itu dimulai ketika saya berusia 10 tahun. Memang, saya belum memahami dengan baik, bagaimana parameter pencarian itu," kata dia.

Seiring perjalanan spritualnya, Chanicka banyak dipengaruhi pemahaman keyakinan Hindu dan Kristen, dua agama yang begitu dekat dengannya. Ia mulai mencari tahu bagaimana dasar hubungan satu mahkluk dengan penciptanya.

Pengetahuan yang ia dapat dari kedua agama itu, Tuhan menginginkan manusia untuk menjadi pemimpin. Satu perjalanan itu selanjutnya berakhir pada ajaran Islam.

Pada usia 11 tahun, Chanicka menjadi Muslim. Saat itu, pilihannya sangat bertolak belakang dengan keyakinan
keluarganya. Ia sangat takut dengan reaksi keluarga atas putusannya itu.

Beruntung baginya, keluarga besarnya memahami pilihannya itu. Namun, mereka khawatir keputusannya itu mendekatkan dirinya dengan kelompok militan yang membunuh jiwa-jiwa tak bersalah atas nama Tuhan.

Chanicka butuh tujuh tahun lamanya untuk membuat keluarganya menerima pilihannya itu. Namun, yang membuatnya khawatir justru bukan hal tersebut.
Ia menyadari, menjadi Muslim di era modern bukanlah hal yang mudah. Label kekerasan dan permusuhan melekat dalam stereotip umat Islam. Tapi ia tidak goyah.
Itu karena, sedari awal komitmennya terhadap Allah jauh lebih kuat ketimbang persoalan duniawi yang melekat di sekitarnya.

"Dari awal, saya tegaskan, hidup dan mati saya hanya untuk Allah," kata dia. Sejak menjadi Muslim, ia mulai memahami hakikat pertanyaan yang muncul dalam pemikirannya. Tujuan hidup ini adalah berbakti kepada Pencipta.

Implementasi dari keyakinan ini tidak hanya dalam hubungan manusia dengan Tuhan tetapi juga mencakup hubungan antar manusia.

"Saya percaya, Tuhan menempatkan manusia di bumi untuk memenuhi misi ilahiah. Sebuah misi membela kebenaran dan keadilan bagi semua orang tanpa memandang apakah mereka Muslim atau Yahudi, hitam atau putih, kaya atau miskin," ucapnya.

Itu yang diyakini Chanicka sebagai anugerah dari Tuhan. Baginya, anugerah itu juga menyimpan konsekuensi ia harus menjamin Islam adalah rahmat bagi semesta alam harus sampai ke seluruh umat manusia.

"Saya banyak membaca tentang kisah Rasulullah. Ia seorang manusia biasa dengan kepemimpinan dan komitmen yang kuat. Karakter itu juga terlihat dari karakter Nabi-nabi sebelumnya," kata dia.

Menurut Chanicka, semua Nabi dan orang-orang saleh memiliki pemahaman yang baik tentang hidup. Ini bukan hanya bicara tentang dakwah tetapi juga perubahan. Mereka berdiri untuk kebenaran. Itulah yang mungkin belum dipahami seluruh manusia di bumi.

Pemahaman akan pentingnya perubahan memanggil Chanicka untuk memberikan sumbangsihnya. Ia memilih jalan menjadi guru yang memungkinkan ia membawa perubahan melalui kualitas anak didiknya.

Memang tidak mudah baginya untuk melakukannya. Ada halang rintang mengemuka, tapi ia tak gentar. "Saya berkomitmen untuk menemukan cara bagaimana memberdayakan anak-anak untuk menciptakan lingkungan yang adil dan inklusif," ucapnya.
Tak mau keliru dalam melangkah, Chanicka coba untuk melihat kembali pendidikan yang ia dapat lalu merenungkan kesulitan apa yang dialami gurunya ketika mendidiknya.

Melalui napak tilas itu, Chanicka coba fokus membantu siswa yang melihat kehidupannya dalam kurikulum yang diberikan. "Terlepas dari apa latar belakang mereka, apapun agama yang mereka anut, suara dan pandangan mereka sangat penting," ucapnya.

Hal tersebut yang kemudian diungkapkan Chanicka perlu dilakukan umat Islam. Menurutnya, umat Islam itu lahir dengan karakter yang kuat. Mereka tahu siapa dirinya, apa yang mereka yakini, dan mereka jaga nilai-nilai spiritual dengan baik.

"Kita perlu bekerja keras untuk memahami diri, komunitas dan dunia. Ini yang kemudian mendorong saya untuk melakukan sesuatu ketika Islam diidentikan dengan kebencian," kenangnya.

Ketika mendengar Islam diidentikkan dengan kekerasan, Chanicka selalu menangis. Ia merasa belum melakukan apapun guna membantu masyarakat dunia untuk memandang Islam dalam kacamata yang benar.

"Islam membuat saya mengerti apa tujuan hidup saya. Dengan bantuan Tuhan, saya bisa dan akan melakukan perubahan," kata dia.

Imam Masjidil Haram Persilakan Ust. Yusuf Mansur Jadi Imam


REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagaimana pepatah mengatakan, semakin berisi sebatang padi, maka semakin merunduklah ia kebawah. Artinya, semakin berilmu dan beriman seseorang, semakin rendah hati dia.

Itulah  yang tercermin dari sosok Syaikh Saad Al Ghamidi yang tak lain adalah Imam Masjidil Haram dalam kunjungan pertamanya ke Indonesia. 

Sosok rendah hati itulah cerminan pertama yang ditangkap Republika ketika ditemui di penginapannya di Hotel Borobudur Lapangan Banteng Jakarta Pusat, Rabu (27/3) menjelang Shalat Maghrib.

Saat itu, Syaikh Al Ghamidi tampak akrab berbincang-bincang dengan Ustaz Yusuf Mansur dan beberapa tokoh PPPA Daarul Qur'an.

Sembari menunggu beberapa orang lainnya yang tengah berwudlu, Syaikh Al Ghamidi berceloteh kepada Ustadz Yusuf Mansur, "Syaikh Yusuf, silahkan anda nanti yang menjadi imam," pinta Syaikh Ghamidi.

Beberapa tamu yang hadir saat itu melihat kepada Syaikh Ghamidi. Apakah perkataannya barusan hanya sekedar basa-basi atau sungguh-sungguh. Sebab, mana mungkin seorang Syaikh yang mengimami Masjidil Haram kiblatnya umat Islam meminta Ustaz Yusuf Mansur yang menjadi imam?
Yusuf Mansur menolak halus tawaran itu. Tapi sekali lagi Syaikh Ghamidi memintanya dengan nada sungguh-sungguh. "Tidak bisa, anda nanti yang akan jadi imam," pinta Syaikh Ghamidi.

Kedua orang alim tersebut sempat saling tolak-menolak soal siapa nantinya yang akan maju menjadi imam. Akhirnya, karena didukung oleh pengurus PPPA Daarul Qur'an yang hadir, Syaikh Al Ghamidi akhirnya maju mengimami shalat maghrib.

Ia mengimami shalat dengan irama tartilnya yang lembut dan khas. Rakaat pertama ia membaca surat Adh Dluha, sedangkan dirakaat kedua surat Asy Syams.

Dalam ilmu fiqh, seorang yang menjadi tamu memang seyogyanya mendahulukan tuan rumah untuk menjadi imam. Posisi syaikh Al Ghamidi yang sebagai tamu datang ke Indonesia ternyata ia ingat betul. Ia tak merasa lebih layak untuk jadi imam, sekalipun ia adalah Imam Masjidil Haram.

Mualaf - Ismail Sloan : Alquran Menjawab Setiap Pertanyaanku


REPUBLIKA.CO.ID, Ismail Sloam besar dan tumbuh sebagai penganut Protestan. Ia rutin menghadiri kebaktian di Gereja St. John Episcopal, Lynchburg, Virginia.  

Hanya saja selama menjalani rutinitas itu muncul pertanyaan dipikirannya. "Jika Yesus anak Tuhan mengapa ia mati disalib," ujarnya mengenang pemikirannya dulu.

Seiring bertambahnya usia, pertanyaan Sloam kian spesifik dan detail. Ia pun tak ragu untuk bertanya langsung kepada guru sekolah minggu-nya. 

Dengan jawaban yang diberikan, ia tak pernah merasa puas. Lalu, ia memberanikan diri bertanya kepada Uskup Mormon.

Pertanyaan demi pertanyaan mulai terlupakan sampai ia mengunjungi Afganistan. Di negara itu, Sloam untuk kali pertama berinteraksi dengan Muslim. 

Ia sendiri tidak begitu paham tentang Islam. "Saya mulai membaca dan mulai tertarik ketika Alquran punya jawaban atas pertanyaan dirinya," kata dia.

Dari Alquran, ia merasa banyak informasi yang lebih detail konsep hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia. Alquran juga mengakui kitab-kitab sebelumnya. 

Setelah kunjungan ke Afganistan, Sloam mulai mempelajari Islam. Ia banyak membaca buku. Selama itu, banyak kejutan yang didapatnya, seperti bahwa agama dan teknologi bisa berjalan beriringan. Saat mempelajari Islam pula ia mengetahui bahwa agama itu menganjurkan setiap Muslim untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.

Cuma, satu hal penting yang mengejutkannya. Islam menyatakan Yesus seorang manusia biasa. Demikian pula dengan Rasulullah Muhammad SAW, yang juga manusia biasa. 

Begitu juga Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim dan Nabi-nabi sebelumnya, mereka manusia biasa. Mereka justru yang mengajarkan risalah ilahi.

Setelah mantap, Sloam mengucapkan dua kalimat syahadat. Ia bersyukur telah mendapatkan hidayah yang Maha Kuasa untuk menjadi Muslim. Alhamdulillah.